Selama di perjalanan Surabaya—Jember awal Juli lalu, saya sempatkan memotret beberapa spot di perjalanan. Salah satunya saat kereta melambat di stasiun kereta api Pasuruan. Saya merasa foto perempuan dan anak-anak di bawah panas terik siang hari “menjadi kecil” dibanding sekitarnya yang terlihat “gersang” dan penuh logam infrastruktur stasiun kereta api.
Recently in Reportase Category
Hari Senin awal pekan ini memang istimewa. Pagi hari saat saya berangkat ke kantor dengan naik Angkutan Kota di Bandung, tatkala Angkot saya ngetem di depan mulut cabang jalan Dago Pojok, saya merasa sinar matahari menghidupkan dinding toko dan rumah di seberang jalan dengan warna yang indah. Diambil lewat jendela angkot, dari dua jepretan kamera yang saya lakukan, satu gambar merekam kecerahan matahari musim kemarau.
Tidak cukup waktu berangkat kantor. Sepulang dari kerja, sambil menjinjing kantong plastik berisi roti bakar pesanan anak-anak di rumah, saya tertegun menjelang belok di sebuah turunan dekat rumah. Pemandangan matahari terbenam di daerah utara demikian elok. Berhenti, meletakkan kantong plastik di atas hamparan rumput, saya segera mengambil beberapa momen tersebut dan saya pilih dua yang paling mewakili.
Sebuah hari yang penuh dengan panorama indah.
Seperti lazimnya teman-teman yang hendak pulang kembali ke tanah air Indonesia, saya dibekali pesan perlunya bersiap-siap menghadapi keadaan yang drastis berubah dari kondisi di negara yang disebut “maju” dan di Indonesia. Antara lain disebutkan bahwa saya perlu bersiap-siap melihat harga-harga yang melambung sudah sangat tinggi dibanding empat tahun lalu — dan benarlah, di swalayan harga-harga barang-barang keperluan sehari-hari sudah berkisar pada angka lima ribu. Sopir Angkot sudah tidak canggung dengan lembar sepuluh ribuan dan penjaja es krim sudah siap dengan kembalian setelah disodori duit lima puluh ribuan.
Tidak nyaman memang merasakan duit yang memiliki banyak nol di belakang digerogoti dengan cepat begitu saja. Namun karena sudah mendapat “pengarahan” akan keadaan tersebut, saya sedikit agak “terpaksa” menerima begitu saja.
Yang lebih mengejutkan dengan perubahan di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini adalah kekusaman dan kekumuhan. Benar, di hampir semua tempat terhampar pemandangan yang penuh berisi kumpulan barang kumuh atau kusam. Bangunan-bangunan seperti tidak terawat, kotor, cat mengelupas atau lumut menutup, dan pudar warnanya. Tentu saja yang masuk perkecualian ini adalah bangunan baru, misalnya trotoar yang memang disediakan dalam rangka acara Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Boleh dikatakan sepertinya tidak disediakan alokasi dana yang memadai untuk merawat sebuah bangunan. Yang banyak dipilih adalah membangun semegah mungkin, setelah itu dipakai sampai hancur menjadi puing-puing atau seonggok bangunan kusam. Dugaan saya, ongkos untuk merawat dianggap terlalu mahal sehingga dana dialihkan untuk alokasi keperluan lain.
Tidak dimaksudkan sebagai kebetulan, entri pertama yang
ikut mendorong saya menggunakan alat bantu blog (dan otomatis
seperti “simbol” masuk dunia blog) adalah sebuah artikel
yang ditolak oleh
Kompas. Pengakuan ini bukan mendeklarasikan
“barisan sakit hati” karena saya sadar diri pada saat itu bahwa
artikel yang saya komentari ditulis oleh Onno W Purbo yang jauh
lebih sohor dibanding saya. Belakangan saya bertambah maklum:
salah satu teman saya yang sedang mengikuti pendidikan doktoral di
Jerman pun tidak bisa membantah pendapat seorang profesor lewat
tulisan yang dikirim ke media massa. Isterinya yang bercerita kepada
saya menyebut singkat tapi jelas, Bagaikan melawan tembok.
Saya juga termasuk yang tertarik dengan tawaran menulis kolom di salah satu media massa Internet. Jika saya dapat mengumpulkan honor menulis dari media massa, demikian rencana saya saat itu, uang tersebut dapat saya gunakan untuk membiayai ongkos hosting beberapa situs Web yang saya urus. Namun ternyata persoalan hosting ini dapat diatasi tidak harus dengan membayar dalam bentuk uang dan saya mengurungkan niat menulis untuk media massa. Harga kenyamanan dan keleluasaan menjadi “diri sendiri” lewat tulisan di blog lebih bernilai dibanding — katakanlah — populer lewat publikasi di tempat umum.
Ringkasnya: saya sampai pada kesimpulan bahwa media baru yang
disebut blog menjadi lebih mewakili diri saya antara lain juga
disebabkan kesulitan saya “memasuki” media massa. Saya menjadi
kurang bersemangat mengubah gaya tulisan agar cocok dengan kriteria
yang dipakai dewan redaksi lebih-lebih karena siapalah saya. Bisa
jadi sepucuk surat penolakan yang berisi penjelasan, Keterbatasan
ruang kami untuk menampilkan tulisan anda
, memang benar seperti
itu secara teknis, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa saya
tidak cukup kredibel menyodorkan buah pikiran di sana.
Sangat sedikit kesempatan bagi negara yang sedang mengalami banyak persoalan seperti Indonesia dapat diwakili oleh segelintir warga negaranya dalam sebuah kontes internasional, bergengsi, dan kemudian — tidak tanggung-tanggung — diraih dua posisi teratas. Mereka adalah Ardian K Poernomo dan Pascal Alfadian, pemenang Google Code Jam India, yang pada tanggal 28 Maret lalu sontak mengisi halaman blog Google, sedikit blog di Indonesia, dan di mailing list id-gmail yang sehari-hari lebih banyak berisi ejek-ejekan di antara anggotanya.
Pada sebuah kesempatan, saya pernah menganalogikan ejek-ejekan di mailing list tersebut seperti cara penduduk Galia memperlakukan pahlawannya. Kebetulan juga sedikit penulis blog yang disebut “berjumlah sedikit” di atas adalah sekian dari anggota mailing list tersebut dan sudah kenyang dengan “kultur ejek” di sana. Tentu saja ini bukan urusan Ardian dan Pascal, dua orang terhormat yang tiba-tiba disebut dalam keriuhan tidak berujung-pangkal.
Karena saya tinggal di tempat dengan zona waktu lima jam setelah
Indonesia, begitu sampai di id-gmail situasi
sudah ramai — seperti halnya pagi-pagi sebelumnya. Dari sekian
email yang menarik dicurigai lewat subjeknya, Idban Secandri hari
itu memperoleh omelan bahwa blog dia payah, namun pertanyaan balik dari dia
mengusik, Eh, ada yang kenal Ardian K Poernomo gak?
Ardian K Poernomo: “tokoh” mana lagi ini?
Setelah sempat beberapa bulan menggunakan GNU/Linux distribusi Mandrake di awal tahun 2002, terutama karena alasan ingin menikmati antarmuka grafis KDE, saya kembali ke Debian 3.0 atau yang dikenal dengan Woody. Dua tahun lalu, banyak aplikasi untuk XFree yang tinggal diinstal di Woody: Firefox belum ada — dan Mozilla adalah salah satu paket bawaan Woody, Yahoo! Messenger tinggal diambil dan dipasang, sampai dengan RealPlayer.
Sampai akhirnya… Yahoo! Messenger berikutnya gagal dipasang karena meminta modul pustaka versi lebih baru. Firefox tersendat-sendat hanya sampai versi 0.5, dan terakhir dapat versi backport 0.9 (sekarang sudah tersedia versi 1.0). Karena pekerjaan komputer tersebut pada awalnya lebih banyak sebagai server Web, tuntutan aplikasi yang lebih baru di XFree bukan prioritas. Yang penting editor hebat jalan dengan lancar dan tersedia perambah grafik yang memadai. Aplikasi lain yang mendukung: XMMS dan XChat — sesekali saya perlu berdiskusi lewat kanal IRC tentang perangkat lunak Open Source yang saya gunakan.
Selama ini boleh dikatakan HTML menjadi format yang paling praktis saya gunakan untuk menulis dokumen. Hampir untuk semua urusan saya dalam penulisan dokumen yang memerlukan pemformatan, saya gunakan HTML. Jika tujuan akhir adalah tampilan, misalnya hendak dicetak dan dibagikan ke orang lain, saya bersikap “kompromistis” dengan HTML 4.01. Yang penting di komputer tempat dokumen dicetak, berkas tersebut ditampilkan dengan baik.
Sedangkan untuk keperluan penyajian digital atau versi online, seperti di blog, saya memilih XHTML. Penekanan yang saya pakai pada makna semantik teks. Misalnya saya berusaha abai pada pemakaian tag code
, abbr
, acronym
, atau q
.
Kemarin, satu hari setelah Hari Kemerdekaan RI, salah seorang teman lama, Fauziah Swasono, menyapa saya lewat Yahoo! Messenger. Karena status yang saya pasang sengaja diisi kalimat yang bernuansa Hari Kemerdekaan, pertanyaan pertama dari Fauziah langsung tentang sikap saya terhadap kondisi negara kita: optimis, sedih, atau biasa saja?
Saya juga langsung menjawab tanpa didasari pemikiran panjang,
Saya tetap optimis, sekalipun agak khawatir kalau misalnya jadi
pecah dengan tidak benar.
Barangkali terdengar terlalu
membesar-besarkan masalah, namun salah satu suplemen Harian Kompas
yang saya baca pada Agustus 2000 — setahun sebelum saya
meninggalkan Indonesia — berisi tentang resiko demokrasi untuk
negara-negara yang dianggap “belum siap” dan ancaman disintegrasi di
Indonesia.
Reaksi Fauziah yang hari-hari ini sedang mengunjungi Indonesia (dia
sendiri sedang menyelesaikan program doktoral di Hitotsubashi
University, Tokyo, Jepang)
menjawab lebih realistis, Dugaan gua sih pecah mungkin
nggak, tapi perbaikan akan memakan waktu sangat
panjang.
Dia melanjutkan dengan kekhawatiran bahwa
Indonesia mengalami stagnasi seperti halnya Filipina pada beberapa
tahun terakhir ini yang menyebabkan antara lain terjadi lonjakan
imigrasi keluar dari negara itu.
Ini reportase yang terlambat ditulis, karena acara berlangsung pada tanggal 1 April lalu: silaturahmi saya ke A.L.M. Abdul Gafoor, salah seorang ekonom berasal dari Sri Lanka yang menggeluti ekonomi syariah, terutama dalam aspek perbankan. Abdul Gafoor tinggal di Groningen, menulis buku-buku ekonomi syariah, dan saya berkenalan dengan beliau pada salah satu acara pengajian muslim. Kebetulan juga kami sering bertemu di Masjid Selwerd, Groningen, sehingga saya tidak merasa canggung untuk membicarakan persoalan serius dengan cara silaturahmi ke rumahnya. Sekaligus memenuhi undangan beliau agar saya main ke tempat tinggalnya.
Saya sudah siap dengan topik fatwa dari MUI yang dikeluarkan pada akhir tahun lalu bahwa bunga bank adalah haram, dengan demikian cara bertransaksi di perbankan konvensional terkenah getahnya. Tujuan saya membicarakan persoalan ini dengan Gafoor lebih pada pertimbangan yang dapat dia sodorkan dalam menganalisis masalah dan bukan meminta “fatwa tambahan”. Saya juga menyadari bahwa pengetahuan dia tentang kondisi yang ada di Indonesia tentulah lebih sedikit dibanding ahli hukum Islam atau perbankan yang memang menekuni persoalan ini di negeri kita. Kapabilitas saya juga lebih minim lagi: hanya penikmat sedikit ilmu fiqh Islam dan teori ekonomi makro. (Terus terang, saya juga kurang yakin dengan kedua istilah ilmu yang saya sebut itu. Tolong dikoreksi apabila salah.)
Salah satu pengalaman yang berkesan bagi saya adalah percakapan-percakapan pendek dengan salah seorang tetangga yang berasal dari Suriname, Pak Moeriat. Rumah kami bersebelahan, dan karena dia sering keluar rumah pada jam-jam antar dan jemput anak-anak sekolah, saya sering berpapasan di luar rumah. Asal-mulanya kami hanya bertegur sapa pendek, namun kemudian dengan bertambah frekuensi bertemu, saya diajak mengobrol pada persoalan yang lebih jauh.
Saya diperkenalkan kepada Pak Moeriat oleh penghuni lama dari rumah yang kami
tinggali, Salut
Muhidin, yang kini sedang melanjutkan
program post-doktoral di Amerika Serikat. Begitu saya tahu bahwa dia
masih menggunakan Bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari dengan
anggota keluarganya, saya merasa tidak ada penghalang apapun untuk
berbicara dengan bapak yang sudah berusia lanjut ini. Gantungan
kunci mobil dia juga bergambar Garuda Pancasila dan waktu saya
singgung, Pak, gantungan kunci kowe kok jik
gambar Garuda?
(Gantungan kunci bapak masih bergambar Garuda?)
Dengan mantap dijawab, Lah aku lan mak-bapakku
saka Surinaam, ning neng kene jik Negara Jawa, tho…
(Saya dan
ibu-bapak berasal dari Suriname, tapi di sini (sambil menunjuk
dada), masih di Negara Jawa [Indonesia, maksudnya]).