Sangat sedikit kesempatan bagi negara yang sedang mengalami banyak persoalan seperti Indonesia dapat diwakili oleh segelintir warga negaranya dalam sebuah kontes internasional, bergengsi, dan kemudian — tidak tanggung-tanggung — diraih dua posisi teratas. Mereka adalah Ardian K Poernomo dan Pascal Alfadian, pemenang Google Code Jam India, yang pada tanggal 28 Maret lalu sontak mengisi halaman blog Google, sedikit blog di Indonesia, dan di mailing list id-gmail yang sehari-hari lebih banyak berisi ejek-ejekan di antara anggotanya.
Pada sebuah kesempatan, saya pernah menganalogikan ejek-ejekan di mailing list tersebut seperti cara penduduk Galia memperlakukan pahlawannya. Kebetulan juga sedikit penulis blog yang disebut “berjumlah sedikit” di atas adalah sekian dari anggota mailing list tersebut dan sudah kenyang dengan “kultur ejek” di sana. Tentu saja ini bukan urusan Ardian dan Pascal, dua orang terhormat yang tiba-tiba disebut dalam keriuhan tidak berujung-pangkal.
Karena saya tinggal di tempat dengan zona waktu lima jam setelah
Indonesia, begitu sampai di id-gmail situasi
sudah ramai — seperti halnya pagi-pagi sebelumnya. Dari sekian
email yang menarik dicurigai lewat subjeknya, Idban Secandri hari
itu memperoleh omelan bahwa blog dia payah, namun pertanyaan balik dari dia
mengusik, Eh, ada yang kenal Ardian K Poernomo gak?
Ardian K Poernomo: “tokoh” mana lagi ini?
Setelah saya datangi blog Idban, rupanya berita tentang keberhasilan
dua anak
muda yang diduga warga negara Indonesia itu sudah cukup
lengkap: termasuk komentar dari Enda Nasution berisi tambahan
informasi dan dijadikan pelengkap materi oleh Idban. Rujukan
diperoleh dari beberapa surat kabar asing, umumnya di Asia Selatan,
dan Enda melacak lewat mesin pencari sehingga dengan meyakinkan
disebut olehnya, Sampai-sampai alamat dia (pemenang) ada di
Internet
Sebelum sampai pada keputusan hendak saya tulis ucapan selamat untuk kedua anak muda tersebut, saya masih berusaha mencari rujukan dari media massa besar dalam negeri agar diperoleh kepastian bahwa benarlah mereka berasal dari Indonesia. Tidak ketemu dan keburu basi apabila menunggu sampai hari berikutnya. Apalagi tradisi “penduduk Galia” tadi yang cukup sensitif (dan sudah mendekati agresif) untuk melabeli sesuatu dengan Basbang. Sedikit banyak saya terpengaruh.
Akhirnya pertimbangan ini: jika saya sudah meluangkan waktu untuk
menulis tentang hal-hal tidak nyaman yang telah terjadi dengan
beberapa figur yang dikaitkan dengan TI
di Indonesia, apakah saya masih menunda-nunda untuk hal yang
positif? Saya menyadari resikonya adalah salah sebut atau klaim
sepihak, seperti kalimat agak
janggal yang saya baca pagi itu, Aman ‘kan
kalau kita sebut dia orang Indonesia?
Apanya yang
“aman”?
Dengan modal rujukan dari Idban dan hasil investigasi Enda, ucapan selamat untuk keduanya saya tulis. Pada hari itu, sependek yang saya tahu, Priyadi Iman Nurcahyo dan Enda Nasution, menulis entri di blog masing-masing. Priyadi menyayangkan media utama negeri kita dan Enda sudah memberi julukan “prestasi tanpa banyak cingcong.”
Saya amati hampir semua penulis komentar di blog mempertanyakan respon di Indonesia yang adem ayem dan sedikit keraguan: benarkah mereka WNI? Termasuk Thomas Arie Setiawan yang mengobrol dengan saya lewat Yahoo! Messenger di sore hari. Sebagian dari dialog dengan Thomas sebenarnya secara tidak langsung mempertanyakan sumber yang agak resmi yang dapat dipakai sebagai rujukan berita tentang kedua pemenang tersebut.
Karena saya yang menulis artikel di #direktif, tentu saya merasa
punya “beban moral” seandainya ternyata artikel saya keliru. Dengan
sedikit bercanda saya sempat berkomentar: Lucu juga sampai
sekarang kita cuma mengandalkan info dari Enda. […] Untuk
sementara aku menggunakan acuan dari Idban dan dia dari The Hindu
Business Line. Kalau The Hindu salah, terpaksa aku ralat semua.
Sudah barang tentu, bukan maksud saya kurang yakin dengan usaha Enda, melainkan saya jelaskan juga sore itu bahwa seharusnya media massa utama yang punya wartawan di lapangan dan dana (serta memang pekerjaan mereka) melakukan investigasi, memburu berita kedua pemenang tersebut dan meyakinkan kita akan identitas mereka. Saya berandai-andai dengan cerita dari dapur Tempo di zaman Orba dulu yang sudah langganan mengirim koresponden mereka ke pedalaman Segi Tiga Emas di Kamboja, ikut merayap di bawah desingan peluru saat terjadi kudeta militer di Bangkok, sampai dengan wawancara langsung (bukan lewat Yahoo! Messenger atau SMS!) dengan banyak figur penting dunia. Nyatanya sampai sore itu belum ada, termasuk yang “sekadar” mencari lewat mesin pencari seperti yang dilakukan Enda.
Setelah empat hari dipasang, dari catatan perujuk (referrer) pengunjung #direktif, saya mendapatkan URL situs Web Felix Halim. Karena berulang beberapa kali, saya datangi laman Web tersebut dan inilah reportase paling lengkap (setidaknya sampai hari ini) tentang perjalanan “Tim Indonesia” beradu prestasi di India. Cerita tentang mereka, ditulis oleh “tim” mereka sendiri, dan kita, penulis blog, baru bisa memberikan ucapan selamat. Seperti disebut di atas, belum tertulis satupun nama media massa resmi di daftar taut tentang kegiatan ini; sekaligus menjadi keharuan tersendiri bagi saya karena sebagai gantinya mereka mengumpulkan daftar blog yang telah menulis berita ini.
Saya tidak terlalu suka membanding-bandingkan prestasi seseorang dengan yang lain, karena masing-masing tentu memiliki cara berprestasi sesuai keahliannya. Yang saya tahu tentang teman-teman yang berprestasi ini juga sederhana: mereka bekerja keras untuk meraih kesempatan berangkat ke India, dan lebih dari itu, mereka berhasil menjadi pemenang. Selamat!
Sekali lagi, media massa kita terlewat menyodorkan semangat penting seperti ini.