Silaturahmi Ekonomi Syariah

| 6 Comments | No TrackBacks

Ini reportase yang terlambat ditulis, karena acara berlangsung pada tanggal 1 April lalu: silaturahmi saya ke A.L.M. Abdul Gafoor, salah seorang ekonom berasal dari Sri Lanka yang menggeluti ekonomi syariah, terutama dalam aspek perbankan. Abdul Gafoor tinggal di Groningen, menulis buku-buku ekonomi syariah, dan saya berkenalan dengan beliau pada salah satu acara pengajian muslim. Kebetulan juga kami sering bertemu di Masjid Selwerd, Groningen, sehingga saya tidak merasa canggung untuk membicarakan persoalan serius dengan cara silaturahmi ke rumahnya. Sekaligus memenuhi undangan beliau agar saya main ke tempat tinggalnya.

Saya sudah siap dengan topik fatwa dari MUI yang dikeluarkan pada akhir tahun lalu bahwa bunga bank adalah haram, dengan demikian cara bertransaksi di perbankan konvensional terkenah getahnya. Tujuan saya membicarakan persoalan ini dengan Gafoor lebih pada pertimbangan yang dapat dia sodorkan dalam menganalisis masalah dan bukan meminta “fatwa tambahan”. Saya juga menyadari bahwa pengetahuan dia tentang kondisi yang ada di Indonesia tentulah lebih sedikit dibanding ahli hukum Islam atau perbankan yang memang menekuni persoalan ini di negeri kita. Kapabilitas saya juga lebih minim lagi: hanya penikmat sedikit ilmu fiqh Islam dan teori ekonomi makro. (Terus terang, saya juga kurang yakin dengan kedua istilah ilmu yang saya sebut itu. Tolong dikoreksi apabila salah.)

Pengantar tentang fatwa MUI tersebut saya sampaikan kepada Gafoor dan saya memperoleh humor pertama pada percakapan kami, Bunga bank diharamkan di Indonesia, dihalalkan di Mesir, maka di Pakistan — yang berada di tengah kedua negara tersebut — statusnya tidak jelas di antara kedua fatwa tersebut… Saya kira hal ini memang menjadi kondisi tersendiri, persoalan legitimasi: bahkan di dalam negeri pun, ormas Islam besar juga tidak sependapat dengan fatwa MUI tersebut.

Setelah itu, kembali Gafoor menjelaskan padangannya tentang pemisahan layanan bank sebagai kurir dan tempat investasi. Sebelum silaturahmi ini, saya sudah mendengarkan pendapat tersebut pada dua kali pengajian kami yang menghadirkan dia sebagai pembicara. Bank sebagai kurir, yakni pihak yang membantu mengalirkan uang untuk transaksi kedua nasabah, sangatlah diperlukan hari ini. Boleh dikatakan semua orang mengandalkan bank untuk keperluan ini. Uang tambahan yang diminta oleh pihak bank sebagai pembayaran pemakaian jasa ini juga bukan masuk di dalam kategori riba karena merupakan jual-beli jasa sebagaimana umumnya. Ringkasnya, bank, atau organisasi lain, yang beroperasi pada sektor jasa ini tidak bermasalah bagi umat Islam.

Barulah pada pemakaian bank untuk berinvestasi terjadi perbedaan antara kaidah di dalam hukum Islam dengan yang berjalan sekarang. Saya kira hal ini sudah cukup jelas diketahui, dan menurut saya salah satu penyebab munculnya persoalan adalah dicampuradukkan jenis-jenis aliran uang di dalam muamalah (hubungan antarmanusia). Misalnya karena uang penabung diikutkan di dalam modal bank untuk menyalurkan pinjaman, maka nasabah yang sebenarnya hanya ingin menggunakan jasa bank sebagai kurir menjadi terciprat persoalan riba. Seperti halnya pengambilan kaidah hukum secara umum di dalam Islam, yang lebih penting adalah penyebab jatuhnya sebuah masalah dibanding kuantitas kelebihan uang misalnya. Soalnya saya juga pernah mendengar pendapat yang salah dengan membandingkan begitu saja perolehan bunga terhadap angka inflasi.

Riba sendiri bukan persoalan hanya milik umat Islam. Gafoor menjelaskan bahwa pada mulanya pihak gereja pun melarang kelebihan uang yang disebut usury. Kata ini dipakai pada Abad Pertengahan, namun kemudian dengan perkembangan situasi hubungan negara (kerajaan) dan gereja saat itu, digunakan term baru yang lebih lunak dan dilegalkan dengan dinamai interest. Interest yang sekarang masuk ke dunia perbankan dan perbedaannya dengan usury hanya pada persoalan batas angkanya. Situasi yang kurang lebih terjadi pada Bahasa Indonesia: kata rente yang cenderung diartikan negatif diganti dengan bunga.

Menjadikan legal dengan membatasi pada angka tertentu seperti yang terjadi di atas tidak dapat diterapkan pada perbankan syariah, lebih-lebih penyebab persoalan itu sesungguhnya dapat diidentifikasi dan dicarikan solusinya.

Pada topik kedua saya membicarakan persoalan yang sering diperlukan oleh nasabah bank di Indonesia: pinjaman untuk keperluan konsumtif. Saya amati cukup banyak juga nasabah bank yang meminjam uang untuk keperluan beli rumah, mobil, renovasi bangunan, pendidikan anak-anak dan sejenisnya. Gafoor menjelaskan dengan melihat hal ini sebagai kasus yang berbeda juga di dalam Islam. Berinvestasi untuk sebuah usaha dan meminjamkan uang untuk keperluan menyambung hidup, misalnya karena tertimpa musibah, harus dipandang dengan ditangani lewat dua mekanisme yang berbeda. Di dalam Islam pun dikenal adanya usaha bersama, zakat, infak, utang-piutang, sampai dengan hadiah. Hukum masing-masing berlainan, dengan demikian logis juga seharusnya ditangani oleh badan yang berbeda, tidak dicampuraduk di sebuah tempat. (Pengertian badan di sini tidak identik dengan sebuah organisasi, dapat saja diwujudkan sebagai suborganisasi.)

Sedangkan di sisi konsumen, Gafoor memberi penekanan secara moral bahwa kondisi memiliki utang adalah status yang tidak baik. Artinya, mengada-adakan keperluan dan kemudian meraihnya dengan jalan meminjam sedapat mungkin dihindari. Secara ekonomi pun, situasi tersebut tidak positif, karena menciptakan kondisi “penghambaan”. Dengan demikian apabila dilihat dari konteks tersebut, berinvestasi secara sehat, dan tentunya Islami, adalah lewat bagi hasil pihak-pihak yang terkait: keuntungan atau kerugian ditanggung semua pihak dengan adil.

Sebagian dari hasil silaturahmi tersebut juga saya gunakan pada diskusi ringan di mailing list. Tentu menjadi kehormatan dan kepuasan tersendiri dapat bertukar pikiran dengan seseorang yang ahli pada sebuah bidang — dan saya masih berharap punya kesempatan untuk bersilaturahmi dengan tokoh-tokoh berilmu lain, sehingga dapat saya tuliskan sebagai reportase di sini.

Sebelum pamit pulang, saya ceritakan bahwa di bagian depan kantor Bank Muamalat Indonesia tertulis Tidak seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi kemudian (maaf jika tidak sama persis). Abdul Gafoor tertawa dan menjawab lugas, Ungkapan yang cocok. Memang begitu kondisi sesungguhnya.

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/55

6 Comments

Menarik sekali… Psst ada info praktek sistem ‘bagi hasil’ : Kerabat saya pernah ditawari pinjaman dengan sistem bagi hasil oleh salah seorang ‘agen’ Bank X. Setelah saya hitung kok ternyata dalam sistem bagi hasil tersebut, nominal ‘interest’ yang diterima oleh pihak pemberi pinjaman(Bank) malah lebih tinggi dibanding dengan sistem bunga kredit…. Jadi angkanya bagi saya lebih ‘ngeri’ dibanding dengan pinjam dari Bank yang diharamkan oleh MUI. Hiiiy… Padahal katanya ‘sama-sama untung’…. :(

Omong-omong, ada informasi dari Indonesia: Siapa saja anggota MUI? Kemudian siapa saja pemilik Bank-Bank yang menerapkan sistem syariah? Selamat mencari hubungannya… :p ( … tuntutan nafsu manusia … )

Yang lebih penting sebenarnya bukan pada jumlahnya, melainkan pada esensi termasuk kelebihan yang disebut riba atau bukan. Dalam sebuah sistem yang lebih baik, antara lain karena terdapat kompetisi di antara penyedia jasa bagi hasil, seharusnya dimungkinkan terdapat pilihan yang lebih baik.

Alhasil persoalan lebih rendah/tinggi bukan mengadu sistem bagi hasil dengan konvensional, melainkan sesama penyedia pinjaman.

Saya juga pernah mendengar “promosi” bahwa dengan menabung di bank syariah boleh jadi akan mendapat keuntungan lebih tinggi dibanding bunga tetap yang disediakan bank konvensional. Walaupun, sekali lagi, akan keluar dari konteks apabila kedua hal yang berbeda tersebut dibandingkan begitu saja.

Aspek lain yang menjadikan bank syariah di Indonesia masih terbatas dalam menjalankan syariah Islam adalah baru pada tingkatan profit sharing, belum loss sharing untuk penabung.

Mas Amal, saat ini saya dan teman-teman di sini juga tengah menggalakkan dan berusaha mensosialisasikan ekonomi syariah kepada masyarakat umum di Belanda. Silakan lihat website kami. Mohon maaf, semua informasinya ditulis dalam bahasa Belanda.

saya sepakat bahwa sekarang ini masyarakat kita masih melihat sistem bagi hasil di bank syariah sebagai profit sharing saja. hal ini tentu saja belum final, sebab dalam sistem bagi hasil ada yang disebut dengan loss sharing (pada produk mudharabah, misalnya). namun menanggapi dasar adanya “Bunga Bank Haram” saya rasa itu dilihat dari adanya beban bunga kredit yang diberikan kepada para nasabah peminjam (kreditur) yang kadang lebih terkesan “mengekang” ketika kreditur mengalami kesulitan dalam usaha yang didanai oleh pinjaman tersebut. sebab persentase yang diterapkan dalam sistem bagi hasil berdampak fluktuatif terhadap jumlah nominal yang harus dibayar kepada bank tergantung dari loss and profit sharing yg disepakati dan didapatkan. hal ini tentu saja tidak sama dengan sistem bunga pada bank konvensional yang terkesan tidak mau tahu akan beban yang dialami nasabah ketika mengalami kemunduran usaha, ia harus tetap membayar sejumlah nominal sesuai persentase yang disepakati menurut jumlah pinjaman yang diberikan.

kalo cuma profit sharing, sama aja dengan bunga cuma beda persenan aja gak sih? intinya musyarakah dan mudharabah itu kalo nggak salah kan “investasi bersama”.. untung dan buntung sama-sama…

tolong pengertian-pengertian yang mencakupi ekonomi islam

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on July 23, 2004 5:16 AM.

Brainbench dan Perl was the previous entry in this blog.

Jago Kandang is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261