Tidak dimaksudkan sebagai kebetulan, entri pertama yang
ikut mendorong saya menggunakan alat bantu blog (dan otomatis
seperti “simbol” masuk dunia blog) adalah sebuah artikel
yang ditolak oleh
Kompas. Pengakuan ini bukan mendeklarasikan
“barisan sakit hati” karena saya sadar diri pada saat itu bahwa
artikel yang saya komentari ditulis oleh Onno W Purbo yang jauh
lebih sohor dibanding saya. Belakangan saya bertambah maklum:
salah satu teman saya yang sedang mengikuti pendidikan doktoral di
Jerman pun tidak bisa membantah pendapat seorang profesor lewat
tulisan yang dikirim ke media massa. Isterinya yang bercerita kepada
saya menyebut singkat tapi jelas, Bagaikan melawan tembok.
Saya juga termasuk yang tertarik dengan tawaran menulis kolom di salah satu media massa Internet. Jika saya dapat mengumpulkan honor menulis dari media massa, demikian rencana saya saat itu, uang tersebut dapat saya gunakan untuk membiayai ongkos hosting beberapa situs Web yang saya urus. Namun ternyata persoalan hosting ini dapat diatasi tidak harus dengan membayar dalam bentuk uang dan saya mengurungkan niat menulis untuk media massa. Harga kenyamanan dan keleluasaan menjadi “diri sendiri” lewat tulisan di blog lebih bernilai dibanding — katakanlah — populer lewat publikasi di tempat umum.
Ringkasnya: saya sampai pada kesimpulan bahwa media baru yang
disebut blog menjadi lebih mewakili diri saya antara lain juga
disebabkan kesulitan saya “memasuki” media massa. Saya menjadi
kurang bersemangat mengubah gaya tulisan agar cocok dengan kriteria
yang dipakai dewan redaksi lebih-lebih karena siapalah saya. Bisa
jadi sepucuk surat penolakan yang berisi penjelasan, Keterbatasan
ruang kami untuk menampilkan tulisan anda
, memang benar seperti
itu secara teknis, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa saya
tidak cukup kredibel menyodorkan buah pikiran di sana.
Kredibilitas acapkali mendatangkan figur terlebih dulu sebelum buah pikiran, apalagi jika yang dipersoalkan adalah wadahnya — identitas penyampai, mailing list, blog — dan isinya dikesampingkan dari upaya diteliti lebih jauh. Tentu saja tidak semua penulis artikel di media massa menghadapi hambatan seperti yang saya alami; mereka pun menyebut perlu jatuh bangun berkali-kali sampai menjadi “cukup kredibel” untuk diterima buah pikirannya.
Ternyata dari sisi sebaliknya juga terjadi “salah tingkah.” Media massa kita menjadi tanggung dan canggung menghadapi situasi baru yang berkembang; dan malah sudah mengarah pada argumentasi yang brutal dalam menyajikan opini. Saya pernah menulis tentang respon tidak bersambung dari penulis artikel di Sinar Harapan terhadap keberatan yang saya ajukan. Kemudian tulisan di Detik, yang menurut saya mulai terpengaruh gaya blog, memunculkan pertanyaan: sedemikian pentingkah mengulas materi semata-mata bersumber dari sebuah mailing list untuk sebuah konsumsi media massa dengan sumber daya memadai? Sedangkan dari sisi teknis benar-benar bermasalah: untuk apa beberapa URL dipajang di sana? Pembaca tidak dapat mengklik URL karena tidak ditampilkan mengikuti aturan tag HTML dan tidak dapat disalin secara manual ke jendela baru perambah karena dihalangi secara teknis.
Kemudian disusul oleh Kompas yang sedemikian gaduh (sebuah eufimisme
untuk “brutal”) dengan pernyataan-pernyataan
retorik yang
aneh. Seolah-olah hendak dinihilkan kehadiran mailing
list dan blog. Seperti menutup mata akan kehadiran
Yahoo! Groups atau
Blogger yang sudah malang melintang menjadi media
baru dan berskala raksasa, argumen yang disampaikan diperhalus
dengan kalimat, Apalagi untuk Indonesia, di tengah pertumbuhan
jaringan internet yang pesat dan suasana demokrasi yang meriah, apa
saja bisa terjadi.
Apanya yang khas dengan Indonesia? Apa yang
membedakan jaringan Internet di Indonesia dengan negara-negara lain
dalam kaitan diseminasi informasi? Benarkah pertumbuhan
jaringan Internet di Indonesia
pesat? Demikian halnya, apa saja bisa terjadi
karena suasana demokrasi yang meriah
ditunjang keberadaan Internet
bukan hanya di negara kita. Jutaan
“monyet” ada di seluruh
dunia.
Jika pertanyaan seperti di atas (dan masih bisa dikembangkan terhadap paragraf-paragraf lain di artikel tersebut dan artikel susulannya) terlalu naif, berarti saya perlu menduga bahwa penyisipan situasi berlabel Indonesia tersebut memang berniat menggiring pembaca pada sebuah anggapan awal. Sayangnya karena tidak terdapat motivasi yang lebih investigatif, tulisan tersebut berhenti menjadi mirip sebuah pamflet. Barangkali jika dibiarkan lebih jauh Internet dan komputer pun akan digugat…
Tam, tam, tam…
Karena salah tingkah, rebana pemusik jalanan pun terdengar seperti
genderang perang bertalu-talu.