Stagnasi yang Lama

| 8 Comments | No TrackBacks

Kemarin, satu hari setelah Hari Kemerdekaan RI, salah seorang teman lama, Fauziah Swasono, menyapa saya lewat Yahoo! Messenger. Karena status yang saya pasang sengaja diisi kalimat yang bernuansa Hari Kemerdekaan, pertanyaan pertama dari Fauziah langsung tentang sikap saya terhadap kondisi negara kita: optimis, sedih, atau biasa saja?

Saya juga langsung menjawab tanpa didasari pemikiran panjang, Saya tetap optimis, sekalipun agak khawatir kalau misalnya jadi pecah dengan tidak benar. Barangkali terdengar terlalu membesar-besarkan masalah, namun salah satu suplemen Harian Kompas yang saya baca pada Agustus 2000 — setahun sebelum saya meninggalkan Indonesia — berisi tentang resiko demokrasi untuk negara-negara yang dianggap “belum siap” dan ancaman disintegrasi di Indonesia. Reaksi Fauziah yang hari-hari ini sedang mengunjungi Indonesia (dia sendiri sedang menyelesaikan program doktoral di Hitotsubashi University, Tokyo, Jepang) menjawab lebih realistis, Dugaan gua sih pecah mungkin nggak, tapi perbaikan akan memakan waktu sangat panjang. Dia melanjutkan dengan kekhawatiran bahwa Indonesia mengalami stagnasi seperti halnya Filipina pada beberapa tahun terakhir ini yang menyebabkan antara lain terjadi lonjakan imigrasi keluar dari negara itu.

Fauziah juga merasakan faktor berkurangnya kenyamanan di Indonesia, yang sedikit-banyak mempengaruhi keinginannya beberapa waktu lalu untuk cepat selesai sekolah dan pulang ke Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, saya menjawab balik bahwa untuk saya kasusnya berupa pilihan yang lebih sempit, atau hampir tidak ada, sehingga tetap saja yang lebih baik adalah tinggal di Indonesia. Saya sendiri tidak melihat sebagai hujan batu atau hujan emas seperti yang diibaratkan oleh peribahasa negeri kita, melainkan situasi yang lebih realistis. Hal ini sesuai juga dengan salah satu anggapan yang saya pegang: bahwa alternatif yang terbatas itu memiliki keuntungan juga yakni saya tidak terlalu pusing memilih.

Namun bagaimana membayangkan tinggal di sebuah tempat yang mengalami stagnasi dalam periode yang diprediksi akan lama? Pertama, seberapa sanggup kebanyakan orang akan bertahan? Kedua, bagaimana apabila dalam kondisi bertahan tersebut yang muncul di permukaan adalah tabiat saling-memangsa seperti yang telah ditunjukkan dalam banyak huru-hara terakhir ini di Indonesia? Dua ratus juta lebih orang menunggu dalam kondisi cemas dan sedikit letupan saja dapat mengeluarkan bara dari dalam sekam. Apakah Indonesia seperti ini yang akan saya alami pada beberapa periode mendatang?

Teman-teman baik lainnya senantiasa mengingatkan bahwa saya harus tetap sehat akal dan jernih hati melihat keadaan; demikian juga yang lain menyodorkan semangat bahwa sekecil apapun yang dapat dikerjakan dalam rangka menuju ke arah positif, niscaya mendapat tempat tersendiri dan sangat perlu untuk segera dimulai. Tanpa melemahkan semua motivasi baik tersebut, saya sebenarnya agak miris juga melihat sisi lain yang berisi banyak harapan yang kandas. Saya sendiri yang masih ingin mengajak kita semua agar mulai membangun rasa saling mempercayai, sering menemui pernyataan-pernyataan skeptis yang menjalar pada banyak individu maupun organisasi.

Terakhir saya tanyakan kepada Fauziah sesuai dengan kapasitasnya sebagai salah satu anggota tim ekonomi di pusat: jika memang terdapat dugaan perkembangan di Indonesia dapat mengalami stagnasi, indikator praktis apa yang dapat dilihat? Dia menyebutkan beberapa hal di antaranya: pemulihan yang lamban dari krisis — dan pada periode mendatang pun kelihatannya masih akan lambat, kehilangan waktu penting untuk percepatan perbaikan, dan ditambah dengan situasi politik. Alhasil pertumbuhan ekonomi negara kita masih rendah, lebih-lebih jika dibandingkan dengan negara Asia lain yang terkena krisis yang sama beberapa tahun lalu.

Dua hal yang menjadi dugaan ketidakpedulian pada persoalan pemulihan dari krisis ini adalah banyaknya kepentingan masing-masing dan ketiadaan koordinasi. Saya ingat tulisan Harry Roesli di Kompas Minggu beberapa hari menjelang pemilihan umum yang lalu yang menyebutkan kehidupan orang kebanyakan tetap berjalan diperintah oleh siapapun, atau tidak diperintah siapapun. Kelakar ini jika diterjemahkan lebih realistis: rakyat Indonesia berjalan semaunya karena memang tidak ada penyelenggara negara yang mewadahi sehingga menjadi sinergi.

Akhirnya saya sudahi percakapan kami dengan usulan yang pernah saya dengar dari teman lain pada saat hendak meninggalkan Enschede, Belanda, pulang ke Jakarta: apakah ini artinya diperlukan seorang diktator lagi, agar kepentingan menjadi tinggal satu? Ternyata jawaban setengah-bergurau Fauziah mirip sekali dengan kesimpulan berikutnya teman di Enschede tersebut, Mungkin. Terutama jaksa agung dan hakim agung benevolent dictator.

Ah, mengangkat diktator sama dengan menyerahkan lembaran cek kosong lagi; dan benevolent dictator, apakah itu bukan suatu oxymoron?

Namanya juga hanya sindiran.
Terima kasih Fau atas diskusi yang menarik!

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/57

8 Comments

Dari dulu memang saya udah bilang… dengan kelakuan dan cara berpikir mayoritas orang di Asia tenggara (paling gede kan Indonesia ya?) pemimpin yang agak diktator lah yang paling pass!! Karena maaf, saya melihat kelakuan kita itu mirip dengan bangsa Israel.. hehehe.. suka mau2nya sendiri aja.. terbukti.. Pak Mahathir, Pak Harto…bisa membawa negaranya “aman” dan “damai” selama puluhan tahun walau dengan “sedikit” pengorbanan HAM. Sehingga jadinya tergantung diktatornya… kalau tahu diri sih bagus … tapi,…Power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely kata Lord Acton… Nah lho… daripada bingung, mending pilih saya aja.. saya janji deh jadi diktator yang baik.. hehe..

Saya yakin bukan diktator yang kita butuhkan, tapi penerapan hukum yang keras dan adil.

btw, Benevolent Dictatorship kadang-kadang berhasil juga lho

saya terus berharap at least untuk tidak “pecah”, kalau masalah waktu yang lama.. itu pasti makan waktu yang amat banyak, apalagi dengan pribadi bangsa kita ini .. satu aja sih yang saya sedih dari indonesia yaitu : “Bangsa indonesia gak punya Jati diri” itu aja … , IMHO semua gak akan jalan tanpa punya jati diri ..

Singkat cerita: “Demokrasi bukan jaminan kesejahteraan rakyat.”

loh kalo “pecah” tapi rakyat nya makmur gimana ? kayak eropa. apa sih pentingnya sebuah negara gede ? mo adu power kayak amerika ? rakyat mah ga butuh gituan. yang penting aman, bisa kerja, bisa makan, bisa sekolah, bisa kerumah sakit, tenang ngurus anak. sapa tau kalo jadi kecil2 jadi lebih makmur, sumber daya alamnya ga lari kemana, rakyat lebih terurus karena lebih sedikit, trus sumber korupsi nya kan jadi berkurang. trus bikin deh kayak masyarakat uni eropa gituh, kan bisa jadi kuat juga.

Kalau dalam tulisan saya, kekhawatiran itu jika pecah dengan tidak benar. Pengertian tidak benar di sini tentunya yang merugikan banyak orang secara umum, atau kalau mau lebih spesifik pada prosesnya yang tidak beradab.

Saya sendiri bukan penganut faham negara kesatuan mutlak. Toh, kita hidup di dunia ini juga hanya sementara. :)

Sekalipun demikian dalam pandangan teman saya, Fauziah, resiko ini relatif kecil. Tampaknya mematahkan stagnasi yang lama lebih penting dibanding berandai-andai tentang perpecahan.

karakteristik orang indonesia itu adalah “pecah dalam persatuan” :D …meskipun kelihatan rukun,tapi menyimpan bara yang bisa terbakar setiap saat…puihhh susah banget menghadapinya

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on August 19, 2004 1:28 AM.

Jago Kandang was the previous entry in this blog.

Penyelesaian di Beslan: Sikat Habis dan Apologi is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261