Kekusaman dan Kekumuhan

Seperti lazimnya teman-teman yang hendak pulang kembali ke tanah air Indonesia, saya dibekali pesan perlunya bersiap-siap menghadapi keadaan yang drastis berubah dari kondisi di negara yang disebut “maju” dan di Indonesia. Antara lain disebutkan bahwa saya perlu bersiap-siap melihat harga-harga yang melambung sudah sangat tinggi dibanding empat tahun lalu — dan benarlah, di swalayan harga-harga barang-barang keperluan sehari-hari sudah berkisar pada angka lima ribu. Sopir Angkot sudah tidak canggung dengan lembar sepuluh ribuan dan penjaja es krim sudah siap dengan kembalian setelah disodori duit lima puluh ribuan.

Tidak nyaman memang merasakan duit yang memiliki banyak nol di belakang digerogoti dengan cepat begitu saja. Namun karena sudah mendapat “pengarahan” akan keadaan tersebut, saya sedikit agak “terpaksa” menerima begitu saja.

Yang lebih mengejutkan dengan perubahan di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini adalah kekusaman dan kekumuhan. Benar, di hampir semua tempat terhampar pemandangan yang penuh berisi kumpulan barang kumuh atau kusam. Bangunan-bangunan seperti tidak terawat, kotor, cat mengelupas atau lumut menutup, dan pudar warnanya. Tentu saja yang masuk perkecualian ini adalah bangunan baru, misalnya trotoar yang memang disediakan dalam rangka acara Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Boleh dikatakan sepertinya tidak disediakan alokasi dana yang memadai untuk merawat sebuah bangunan. Yang banyak dipilih adalah membangun semegah mungkin, setelah itu dipakai sampai hancur menjadi puing-puing atau seonggok bangunan kusam. Dugaan saya, ongkos untuk merawat dianggap terlalu mahal sehingga dana dialihkan untuk alokasi keperluan lain.

Seperti lazimnya teman-teman yang hendak pulang kembali ke tanah air Indonesia, saya dibekali pesan perlunya bersiap-siap menghadapi keadaan yang drastis berubah dari kondisi di negara yang disebut “maju” dan di Indonesia. Antara lain disebutkan bahwa saya perlu bersiap-siap melihat harga-harga yang melambung sudah sangat tinggi dibanding empat tahun lalu — dan benarlah, di swalayan harga-harga barang-barang keperluan sehari-hari sudah berkisar pada angka lima ribu. Sopir Angkot sudah tidak canggung dengan lembar sepuluh ribuan dan penjaja es krim sudah siap dengan kembalian setelah disodori duit lima puluh ribuan.

Tidak nyaman memang merasakan duit yang memiliki banyak nol di belakang digerogoti dengan cepat begitu saja. Namun karena sudah mendapat “pengarahan” akan keadaan tersebut, saya sedikit agak “terpaksa” menerima begitu saja.

Yang lebih mengejutkan dengan perubahan di Indonesia dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini adalah kekusaman dan kekumuhan. Benar, di hampir semua tempat terhampar pemandangan yang penuh berisi kumpulan barang kumuh atau kusam. Bangunan-bangunan seperti tidak terawat, kotor, cat mengelupas atau lumut menutup, dan pudar warnanya. Tentu saja yang masuk perkecualian ini adalah bangunan baru, misalnya trotoar yang memang disediakan dalam rangka acara Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Boleh dikatakan sepertinya tidak disediakan alokasi dana yang memadai untuk merawat sebuah bangunan. Yang banyak dipilih adalah membangun semegah mungkin, setelah itu dipakai sampai hancur menjadi puing-puing atau seonggok bangunan kusam. Dugaan saya, ongkos untuk merawat dianggap terlalu mahal sehingga dana dialihkan untuk alokasi keperluan lain.

Urusan kusam ini tidak berkait langsung secara fungsional dengan benda yang bersangkutan, namun tidak nyaman rasanya melihat pemandangan kusam berderet panjang — kendati salah satu ungkapan yang saya sukai dari lirik Iwan Fals adalah, “Kaum kusam”.

Kemudian seperti menggambarkan serpih-serpihan kehidupan bangsa kita sendiri, potongan papan, tripleks, seng berkarat, disusun berserak menjadi atap, pintu, pembatas, tembok, pagar, dan banyak bagian dari bangunan, menghasilkan mosaik kekumuhan. Dilengkapi dengan keadaan sekitar yang basah atau lembab, tumpukan sampah plastik atau serakan daun gugur, dan binatang rumah lalu-lalang. Inilah ekosistem negeri kita karena manusia, binatang, dan tumbuhan tinggal dan berjuang hidup di lingkungan tersebut. Tidak sampai hati saya menuding mereka itulah yang menghasilkan kekumuhan secara bersengaja: ongkos untuk membeli papan tripleks berkualitas dan dipotong menjadi sebuah pintu rumah misalnya, tentu sudah habis disedot biaya untuk hidup anak-anak, demikian juga siapa sih yang sebenarnya dalam hati kecil ingin hidup dengan sangat tidak layak seperti itu?

Kekusaman dan kekumuhan sebenarnya sudah bukan barang baru di negara kita, kita sudah menyaksikannya bertahun-tahun di sepanjang rel kereta api, terutama di dalam kota. Kali ini yang membuat saya terperangah adalah jumlahnya yang terkesan lebih banyak, cakupannya yang menjadi lebih global, dan seperti hendak mengepung negeri kita dari semua penjuru mata angin. Mata saya seperti sedang menonton film-film tentang perang kemerdekaan, waktu negara kita memang baru berdiri dan belum memiliki apa-apa. Namun kali ini lengkap dengan anakronisme berupa kendaraan-kendaraan mewah dan mengkilap lalu-lalang dan acara televisi membuka lebih banyak kanal namun seperti menutup mati terhadap realita dan pendidikan.

Konon, pada saat Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh pihak Sekutu pada Perang Dunia II, kedua kota tersebut hancur lebur, bahkan tidak ada satu kaca jendela yang tersisa dalam kondisi utuh. Tidak ada bom yang jatuh sedahsyat itu di negeri kita dan keadaan tidak benar-benar hancur lebur, namun perlu kesabaran dan kesadaran yang sangat untuk bersemangat agar bisa pulih seperti Hiroshima dan Nagasaki.

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on June 22, 2005 9:26 AM.

Penantian was the previous entry in this blog.

Pengendara Sepeda Motor is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261