Salah satu pengalaman yang berkesan bagi saya adalah percakapan-percakapan pendek dengan salah seorang tetangga yang berasal dari Suriname, Pak Moeriat. Rumah kami bersebelahan, dan karena dia sering keluar rumah pada jam-jam antar dan jemput anak-anak sekolah, saya sering berpapasan di luar rumah. Asal-mulanya kami hanya bertegur sapa pendek, namun kemudian dengan bertambah frekuensi bertemu, saya diajak mengobrol pada persoalan yang lebih jauh.
Saya diperkenalkan kepada Pak Moeriat oleh penghuni lama dari rumah yang kami
tinggali, Salut
Muhidin, yang kini sedang melanjutkan
program post-doktoral di Amerika Serikat. Begitu saya tahu bahwa dia
masih menggunakan Bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari dengan
anggota keluarganya, saya merasa tidak ada penghalang apapun untuk
berbicara dengan bapak yang sudah berusia lanjut ini. Gantungan
kunci mobil dia juga bergambar Garuda Pancasila dan waktu saya
singgung, Pak, gantungan kunci kowe kok jik
gambar Garuda?
(Gantungan kunci bapak masih bergambar Garuda?)
Dengan mantap dijawab, Lah aku lan mak-bapakku
saka Surinaam, ning neng kene jik Negara Jawa, tho…
(Saya dan
ibu-bapak berasal dari Suriname, tapi di sini (sambil menunjuk
dada), masih di Negara Jawa [Indonesia, maksudnya]).
Beberapa waktu setelah itu saya mulai ditanya beberapa hal tentang Islam dan karena saya lebih suka berkomunikasi dengan gaya yang lebih akrab dan hangat dibanding tanya-jawab, saya menjawab dengan mengobrol ringan dan melemparkan sejumlah cerita tentang kondisi di Indonesia, terutama gambaran kampung-kampung di Pulau Jawa. Tentu saja, karena saya bukan seorang yang ahli dalam hal ilmu agama Islam dan Javanologi, saya hanya bercerita sejauh yang saya tahu dan sebagian saya alami. Saya beranggapan, toh ini bukan suatu simposium atau diskusi panel, melainkan percakapan hangat antara seorang anak yang relatif masih kurang pengalaman dengan seorang kakek yang lebih banyak menjalani hidup.
Tentang pengetahuan Islam sendiri (yang sebenarnya saya juga masih jauh dari kefasihan), saya sodorkan pemahaman yang dasar dan sederhana. Saya pernah mendengar tentang beberapa “kesalahkaprahan” pemeluk Islam yang berasal dari Suriname, namun saya buang jauh-jauh anggapan seperti itu pada percakapan kami. Selain karena saya memang belum tahu persis dan tidak diajak membicarakan persoalan itu, tidak ada manfaatnya juga membesar-besarkan hal kecil yang potensial menjauhkan dari keuntungan ruhaniah yang lebih besar, yakni silaturahmi.
Kami pernah membicarakan ibadah haji dan persoalan-persoalan yang muncul di sekitarnya, terutama di kalangan jamaah haji dari Indonesia. Demikian juga pada kesempatan lain saya paparkan beberapa cerita wayang yang saya tahu dari beberapa pertunjukan di kampung dan yang dipaparkan di beberapa buku yang saya baca. Sekali lagi, saya juga bukan penikmat atau menguasai cerita-cerita penting di dalam perwayangan, jadi dengan sedikit yang saya tahu itu kami berbicara lebih luas. Hasilnya memang sedikit “ramuan” percakapan tentang budaya dan pandangan Jawa dan prinsip keimanan di dalam Islam.
Saya menganggap hal sederhana seperti itu sudah merupakan perjalanan ruhani, karena pandangan orang lain yang disampaikan dengan sikap takdim dan semangat menghargai pandangan lawan bicaranya, adalah kekayaan batiniah yang dikaruniakan oleh Allah kepada kita. Percakapan yang sublim seringkali tidak harus ditegaskan secara formal, beberapa kalimat pun perlu kami perjelas karena ada bagian-bagian yang tidak kami fahami (maklumlah, sekalipun sama-sama menggunakan Bahasa Jawa, sumber perolehan waktunya sangat jauh berbeda).
Alhamdulillah, ya Allah, di Groningen pun, sebuah kota paling ramai untuk Daerah Utara Belanda, masih Engkau jumpakan aku dengan hamba-Mu yang lain dalam pertemuan yang indah.