Perangkat Lunak Edisi Indonesia

| 1 TrackBack

Tulisan di bawah ini adalah komentar terhadap artikel Onno W. Purbo di Kompas pada tanggal 6 Maret 2001. Namun Kompas mengembalikan dengan alasan, “tidak ada ruang.” Karena Internet adalah ruang maya yang sangat luas, saya tempatkan saja di sini. Modifikasi tambahan yang dilakukan hanya agar lebih mudah dibaca online.

Onno W Purbo [Kompas 6 Maret 2001, Apa Susahnya Tidak Membajak “Software”, arsip Infoperpus] menulis bahwa sebenarnya kita sebagai bangsa Indonesia bisa menyiasati kondisi sehingga tidak perlu harus termasuk kategori Sepuluh Besar Negara Pembajak Perangkat Lunak. Di sisi pengguna (user), Purbo telah menjelaskan dengan menarik tentang kemungkinan penggunaan perangkat lunak open source, antara lain sistem operasi Linux.

Bagaimana dengan sisi sebaliknya, yakni komunitas vendor yang berkepentingan dengan industri perangkat lunak dan spesialis tenaga TI yang diharapkan membawa kemajuan bagi bangsa dan menjadi agen sosial bagi pemasyarakatan TI? Seperti halnya produk lain yang bersinggungan dengan HaKI, lagu dan buku misalnya, interaksi antara pemakai (perangkat lunak), penggemar (lagu), dan pembaca (buku) dengan vendor, produser, dan penerbit jelas perlu. Dalam kaitan ini, ingin dibahas peran vendor dari sisi keseimbangan antara ongkos produksi dan daya beli, yang masih terbuka untuk dicari titik-temunya.

Dijelaskan oleh Richard Stalman, penggagas GNU, salah satu organisasi nonprofit untuk perangkat lunak Open Source bahwa industri perangkat lunak berbeda dengan industri manufaktur fisik (katakanlah mobil atau bangunan) karena proses penggandaan relatif mudah dan murah dilakukan. Dengan kata lain, ongkos produksi perangkat lunak dalam porsi besar bertumpu pada pembuatan produk awal pengembangannya (development phase). Setelah itu, penggandaan, kustomisasi, dan distribusi relatif bisa disesuaikan dengan kondisi regional dan dalam ongkos yang terjangkau sepanjang syarat-syarat rekayasa perangkat lunak diikuti — terutama dikaitkan dengan kemudahan modifikasi produk tersebut.

Sebuah produk perangkat lunak yang dibuat di Amerika Serikat misalnya, penggandaan dan distribusi berikutnya seharusnya bisa dilakukan di Indonesia atau, kalau tidak memungkinkan, di negara lain yang lebih dekat dengan Indonesia. Dengan demikian, ongkos pengapalan dapat ditekan. Bahkan lebih jauh lagi, pemakai dapat diberi pilihan untuk mengambilnya (download) sendiri lewat Internet dan pembuatan situs kembarannya (mirror site) yang lebih layak diakses.

Keuntungan dari kemudahan distribusi digital di atas seharusnya mengalahkan produk sejenis yang relatif masih perlu ongkos lebih banyak untuk penggandaan. Buku-buku teks terbitan Prentice-Hall atau McGraw-Hill “edisi Asia” sudah lama dikenal, itu pun yang sampai di toko buku negeri kita dicetak dari New Delhi, Singapura, sampai Tokyo. Sekalipun masih perlu ongkos kirim, harga buku-buku tersebut bisa dibuat lebih murah dibanding edisi aslinya di negara asalnya. Demikian juga, kaset lagu Barat yang dijual dengan label Hanya untuk Dijual di Indonesia harganya dapat dibuat lebih murah dibanding di negara lain yang daya beli penduduknya lebih tinggi.

Dalam hal ini peran vendor perangkat lunak, terutama representatif mereka di Indonesia, sedikit-banyak perlu dievaluasi. Hal ini, menurut saya, adalah permintaan yang wajar, bukan mengemis. Label perangkat lunak Edisi Indonesia, Edisi Pelajar/Mahasiswa (Student Edition), Edisi Bisnis Kecil (Small Business Edition) dapat merupakan alternatif untuk mengurangi penggunaan perangkat lunak ilegal. Antara lain disebutkan, bahwa salah satu sukses produk klasik Turbo Pascal dari Borland Int. adalah terobosannya dalam hal harga yang lebih terjangkau. Alih-alih dibajak, harga produk ditekan sehingga konsumen dihadapkan pada alternatif menggunakan produk asli lengkap dengan dokumentasi dan dukungan teknis dengan harga terjangkau. Strategi ini masih berlanjut sampai sekarang di salah satu representatif produk Borland di Indonesia, PT Asimetris, untuk keperluan di lingkungan akademis (academic edition).

Alternatif lain adalah dalam hal penyesuaian fitur atau pemakaian perangkat lunak itu sendiri. Banyak kritisi setuju bahwa perangkat lunak sekarang ini sebagian besar masuk dalam kategori kegemukan (bloated). Pengolah kata (word processor) yang banyak dipakai dilengkapi fitur luar biasa banyaknya, akan tetapi untuk satu jenis pengguna hanya sebagian kecil dari fitur tersebut yang digunakan. Ironisnya lagi, pengguna komputer di Indonesia masih latah dalam “kejar-kejaran” versi perangkat lunak sementara cara pengoperasiannya susah sekali beranjak ke fitur baru yang lebih efisien. Untuk pemakaian produk perangkat lunak yang memang sekadarnya dan edisi tersebut sudah memuaskan pengguna, akan menguntungkan kalau harganya ikut disesuaikan. Sebagai misal, terdapat Microsoft Office for Small Business. Kenapa tidak disediakan perangkat lunak yang ringan (lite), praktis, cepat, dan mencukupi, sehingga harganya bisa ditekan? Yang terjadi malah sebaliknya, fitur ditambah sampai pada tingkat yang tidak dapat dikuasai oleh mayoritas pengguna dan dibundel dalam bentuk suite, sehingga mau tidak mau harus dibeli borongan dan mahal.

Perangkat lunak untuk keperluan pendidikan, terutama yang berkaitan dengan pengembangan SDM dan penelitian-pengembangan, antara lain seperti bahasa pemrograman, basisdata untuk keperluan pengembangan, sistem operasi jaringan eksperimental, sudah sepatutnya diberi “diskon”. Di banyak situs Web reseller di Amerika, sudah lazim disediakan versi akademis dengan syarat surat pengantar resmi dari pihak universitas. Beberapa di antaranya memberi persyaratan tambahan bahwa perangkat lunak tersebut hanya boleh digunakan untuk keperluan riset ilmiah di kampus. Selayaknya para peneliti baik yang independen atau atas nama lembaga, memperoleh kemudahan seperti di atas, tanpa harus menunggu proses agreement dengan vendor dalam waktu yang terlalu lama dan terkadang situasional. Contoh kasus terakhir dan cukup menarik adalah produk Kylix dari Borland: mereka menyediakan produk komersial untuk kepentingan bisnis dan akan meluncurkan versi GPL, yang berarti cuma-cuma untuk digunakan, untuk pembangunan perangkat lunak yang hasil akhirnya mengikuti ketentuan GPL juga.

Seperti lazimnya suatu subsidi diberikan, dapat didasarkan pada jenis produk, yang berarti semua pembeli tidak pilih-pilih dapat mengenyam potongan harga, atau dikelompokkan berdasarkan fungsi yang digunakan selanjutnya oleh pembeli. Dengan demikian, seorang pengguna komputer yang memang bertujuan meningkatkan kemampuan intelektualnya akan dibedakan dengan pihak yang memakai perangkat lunak untuk mengumpulkan keuntungan. Apabila Onno W Purbo menyodorkan pilihan di sisi pemakai dengan alternatif perangkat lunak Open Source, akan lebih beragam lagi alternatif yang tersedia guna mengurangi pemakaian perangkat lunak ilegal dengan cara insentif dan terobosan dari vendor.

Saya pribadi sangat setuju dengan pemakaian perangkat lunak open source karena secara jangka panjang akan banyak manfaatnya. Bahkan Linux yang saya pasang di komputer pribadi dan di beberapa server di tempat kerja saya benar-benar memuaskan dari segi performansi, kemudahan administrasi, dan keperluan saya sebagai pemrogram. Akan halnya pendapat saya dalam hal perangkat lunak komersial di atas tidak lain karena kalau melihat kenyataan di lapangan, kita perlu transisi besar untuk mensosialisasikan gagasan open source. Yang jelas, tanpa bermaksud merendahkan orang lain, masih cukup banyak pemakai komputer di Indonesia yang belum sampai pada atensi ingin tahu lebih detail, sementara dalam banyak aplikasi open source hal itu diperlukan. Seperti halnya tidak semua pengemudi kendaraan menguasai dan peduli dengan seluk-beluk mesin kendaraan yang digunakan, kenyataan seperti itulah yang cukup beralasan bahwa perangkat lunak komersial harus didudukkan pada posisi dan nilai-jual yang tepat. Jangan sampai pemakaian perangkat lunak ilegal dibiarkan sebagaimana juga jangan dibiarkan vendor hanya semata-mata menggunakan HaKI untuk sekadar aspek formal-legal dan keuntungan lisensi.

Beri kesempatan kepada lingkungan pendidikan dan penelitian menikmati peralatan pengembang (development tools) untuk keperluan riset dan pendidikan dengan harga pantas. Setelah itu, mulai mencarikan jalan untuk jutaan pengguna-akhir (end-user) yang keperluan mereka di depan komputer — menurut istilah mereka — “sekadar” menggantikan mesin ketik dan kalkulator tukang sayur. Seperti dikemukakan oleh Larry Ellison, CEO Oracle, di ajang komputer besar di Amerika, Comdex, yang lalu, PC yang digunakan di meja-meja (desktop) nantinya hanya berisi browser dan [Microsoft] Office.

Semakin banyak vendor dan representatif industri perangkat lunak yang peduli dengan HaKI dan kondisi sosial-ekonomi negeri ini, dan berusaha mencari terobosan mekanisme jual-beli yang wajar, baru kita acungkan salut. Jangan hanya “menjual” isu HaKI semata untuk keperluan mencekik pemakai komputer dan mematikan inisiatif pengguna komputer yang ingin maju lewat perkakas bernama perangkat lunak.

1 TrackBack

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/1

Siapa sebenarnya yang memerlukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di perangkat lunak dan konsekuensi di sekitarnya. Read More

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on June 21, 2001 5:38 AM.

Romantisme dan Nostalgia is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261