Recently in Permenungan Category

Tanda-tanda Kecil Kiamat

| 2 Comments | No TrackBacks

Seingat saya, pada awalnya dari buku Tanbihul Ghafilin (Peringatan Bagi Yang Lupa), keterangan tentang tanda-tanda kiamat saya baca. Tanda-tanda tersebut dibagi dua: tanda kecil (sugra) dan tanda besar (kubra). Abu Laits as Samarqandi, penulis buku, tidak memberikan keterangan dikaitkan dengan kondisi saat ini — lagipula buku tersebut sudah lama ditulis, termasuk literatur klasik. Setelah itu saya lebih sering mendengar tanda-tanda kiamat disebut lewat pengajian atau khotbah. Biasanya khatib menyebut relevansi dalil-dalil tersebut dengan keadaan saat ini, yakni dikaitkan dengan tanda-tanda kecil kiamat. Walaupun tanda-tanda yang disebutkan oleh para khatib tersebut tidak sama persis (dan juga tidak berbeda total), persamaannya adalah ihwal kemerosotan akhlak masyarakat. Tentu saya maklumi dengan sepenuh hati urusan akhlak menjadi prioritas para khatib.

Ada khatib yang menimpali — biasanya pada sesi tanya-jawab — bahwa tentulah kiamat lebih dekat, dibanding pada masa Rasulullah menyebut hadits yang bersangkutan. Ini mirip dengan metafora bahwa mereka yang berulang tahun sebenarnya jatah hidupnya berkurang setahun.

Sekarang bagaimana dengan isi dalam tanda-tanda kecil itu sendiri? Ini yang acapkali menggelitik saya.

Saddam

| 3 Comments | No TrackBacks

Saddam Hussein sudah dieksekusi pada fajar Sabtu, 30 Desember kemarin. Selain berita tentang cara yang digunakan dengan digantung, agak mengejutkan juga pelaksanaan hukuman tersebut secepat itu dan pada saat muslim sedang menyambut Idul Adha. Di Arab Saudi dan negara-negara yang mengikuti keputusan pemerintah Saudi tentang jadwal haji tahun ini, hari itu adalah hari kurban. Di negara lainnya, sebagian umat Islam sedang melaksanakan puasa Arafah.

Lepas dari kontroversi Saddam yang dianggap diktator atau pahlawan, sedikit-banyak pemilihan waktu yang berkaitan dengan simbol kurban sebagai salah satu kelanjutan peristiwa yang dilakukan penghulu Agama Tauhid, Ibrahim a.s., potensial memicu perasaan tidak nyaman. Bahwa keputusan dan pelaksanaan hukuman mati tersebut dilakukan oleh “pemerintah” Irak saat ini, orang tetap sulit melupakan campur tangan pihak asing dalam proses kejatuhan Saddam. Luapan kekecewaan atas kesan tidak nyaman ini — dan sangat mungkin hingga “kemarahan” — dapat menjalar menuju “musuh bersama” dan itu berarti pihak asing.

Batas Fisik

| 9 Comments | No TrackBacks

Sebenarnya tidak ada yang baru dengan konsep busway di Jakarta.

Sebuah jalur khusus untuk angkutan umum sudah disediakan jauh-jauh waktu. Di sisi paling kiri banyak jalan utama di Jakarta (dan kemungkinan juga di kota-kota besar lain) terdapat lajur khusus untuk bus kota dengan tulisan besar eksplisit. Sayang, jalur ini akhirnya dipakai campur aduk dengan pengguna jalan raya lain dan angkutan umum sendiri tidak disiplin menggunakannya.

Demikian juga kondisi “tidak mendahului” antara satu bus dengan lainnya seperti yang terlihat pada busway sekarang, sudah sejak dulu diatur. Di kaca belakang bus kota ditulis aturan, “Sesama bus kota dilarang saling mendahului.” Namun, sudah menjadi pemandangan umum ketentuan tersebut juga dilanggar.

Terakhir: busway berhenti hanya di halte dan penumpang dengan tertib naik-turun. Ini juga cerita lama: bus kota sudah lama diwajibkan hanya berhenti untuk menaik-turunkan penumpang di halte. Seingat saya aturan ini pernah tegas diterapkan di ibukota (dan barangkali juga di kota-kota lain), namun tidak bertahan lama juga.

Garis Keras

| 18 Comments | No TrackBacks

Di mana-mana haluan garis keras kerap menjadi bahan sindiran. Saya juga menyindir jika sebuah pendapat (bukan orangnya) tentang demokrasi begitu bersemangat, mengeras, sehingga malah terkesan tidak demokratis lagi. Apabila demokrasi berlaku ofensif terhadap pandangan orang lain, seni demokratis itu sendiri hilang dan jika dibiarkan lebih jauh, ia akan menjadi kekerasan dalam bentuk yang lain. Demikian juga sekiranya kebanyakragaman terlalu berakting berlebihan sehingga pihak yang mempertahankan keyakinannya dianggap menyeragam, alasan kebanyakragaman itu sendiri menjadi menodong setiap orang untuk mengikuti pendapatnya.

Oleh karena itu jika gerakan-gerakan yang mengatasnamakan agama Islam mengeras dengan pandangannya, saya maklum. Apa salahnya mereka berbeda dengan pandangan umum? Soal menjadi bahan tertawaan, jika niat mereka lurus dan menggantungkan hasil dari usahanya bukan pada penilaian orang lain melainkan pada ketentuan Allah, sudah sepatutnya tertawaan tersebut tidak usah terlalu dimasukkan hati, tidak usah menjadi penyebab kemarahan.

Standar Ganda

| 1 Comment | No TrackBacks

Sebenarnya, untuk apa menuding dengan ungkapan “standar ganda”? Tidak perlu dan condong sepihak.

Pertama, setiap pihak tentu punya sekumpulan standar yang diyakini, dipegang teguh, atau praktis untuk dijalani. Dengan sifat manusia yang sosial, setiap orang tentu bersinggungan dengan banyak pemikiran dan pada beberapa persinggungan tersebut sangat mungkin tumbuh sebuah sikap standar yang diikuti. Dalam hal memperoleh penghasilan, saya mengikuti standar tertentu; dalam hal lainnya, saya mengikuti standar tertentu yang lain. Standar-standar tersebut dapat dilihat benang merahnya — misalnya menghasilkan pandangan, si A adalah idealis, si B maunya praktis, dan sebagainya. Atau, memang tidak terlihat kaitannya, sehingga standar yang dia pakai adalah ketidakteraturan itu sendiri.

Selanjutnya, setiap pihak tentu punya kepentingan, apapun bentuk dan lingkupnya. Tanpa kepentingan, seseorang bisa beranggapan bahwa hidup ini tidak penting, dan kalau begitu apa guna dibicarakan?

Tak Terkorbankan

| No TrackBacks

Tentang Nyonya Astini, terpidana hukuman mati perempuan pertama di Indonesia, Donny Gahral Ardian, staf pengajar di UI mengakhiri tulisannya dengan

Bagi saya, reformasi hukum tak akan beranjak kemana-mana sebelum ambiguitas ini diselesaikan. Dengan kata lain, reformasi hukum bukan sekadar perubahan pasal per pasal. Ia juga berarti pemeriksaan skema-skema nilai dan ambiguitas yang mungkin ada. Tanpa itu, sistem hukum kita tidak akan “hidup” dan sejalan gerak kesadaran moral dewasa ini. Kita tak bisa mengelak dari dilatasi moral yang bersumbu pada takterkorbankannya (inviolability) manusia atas alasan apapun. Itulah corak pokok humanisme kontemporer.

— Sumber: Mengapa Mesti Hukuman Mati?.

Benarkah manusia merupakan elemen yang tidak terkorbankan atas alasan apapun di muka bumi yang fana ini?

Penyelesaian di Beslan: Sikat Habis dan Apologi

| No TrackBacks

Kemarin sore berita tentang tindak kekerasan di sekolah anak-anak di Beslan, Rusia, diputar sebagai liputan khusus oleh stasiun televisi Nederland 2. Pada gambaran umum tentang Chechnya yang disodorkan kamera ditunjukkan daerah tipikal reruntuhan Uni Soviet: salju berguguran dari langit, orang-orang berada di luar dengan baju tebal berwarna gelap; ditambah serdadu Rusia yang lalu lalang seperti gambaran di film-film. Beberapa blok rumah digambarkan luluh lantak dan belum direnovasi. Pemapar bercerita tentang konflik yang berkepanjangan dengan pemerintah Rusia.

Setelah itu, liputan masuk ke bagian lain yang agaknya menjadi stereotip baru “pengantar terorisme global”. Perempuan-perempuan mengenakan hijab mulai tampak dalam sebuah komunitas yang dalam bahasa film disebut “islami.” Cerita mulai merangkai keterlibatan gerilyawan Chechnya yang sebelumnya menduduki teater di Moskow dan menyandera penonton di dalamnya. Dalam sebuah wawancara yang intensif dengan ibu salah satu anggota gerilyawan perempuan, muncul plot seperti yang sudah saya baca beberapa kali, misalnya dalam sebuah liputan majalah Time dua tahun lalu tentang rekrutmen anak-anak jalanan di Amerika Serikat menjadi anggota “militan Islam”.

Tokoh cerita, seorang perempuan, diceritakan berubah dari remaja pada umumnya, mendalami Islam, belajar bahasa Arab, dan kemudian menjadi lebih intens dalam persoalan agama, termasuk memutuskan untuk mengenakan hijab, sampai akhirnya menjadi sorotan dunia karena terlibat kasus di dalam teater di Moskow. Dalam salah satu wawancara dia masih sempat menyuarakan isi hatinya, “Kami juga punya suami, anak-anak, dan keluarga…”

Sebagai ekspos persoalan humaniora pelaku-pelaku sebuah peristiwa, saya juga ikut tersentuh. Apapun cap dunia yang melekat pada orang-orang tersebut, mereka masih memiliki suara batin yang seharusnya dimengerti dan dicarikan jalan yang lebih terang. Kalau dia menjadi “kusut” dikaitkan dengan tindakannya, sepatutnya juga dipertanyakan: apa yang menyebabkan seorang yang mendalami Islam justru menjadi kusut?

Hanya Catatan Hari-hari yang Indah

| 2 Comments | No TrackBacks

Kendati tidak pernah terpikir oleh saya hendak membuat sebuah Weblog yang bercerita tentang keluarga, sesekali saya tuliskan cerita yang saya alami bersama anak-anak. Tempat khusus untuk Farras dan Safira pun pada mulanya terinspirasi oleh halaman khusus yang dituliskan oleh Larry Wall, bapak Perl, untuk si kecil. Sayang halaman tersebut sekarang sudah tidak ada — barangkali si bungsu sudah besar, sehingga tidak perlu dituliskan oleh ayahnya lagi.

Saya tidak pernah mengenyam pendidikan khusus menjadi orang tua, oleh karena itu menjawab pertanyaan Ismail Fahmi, saya hanya akan menuturkan pengalaman yang mau atau tidak (karena menjadi bapak) saya alami.

Menghilangkan Keberadaan

| 3 Comments | No TrackBacks

Dalam rencana, akhir Februari pada tahun kabisat ini hendak saya gunakan untuk menambahi topik Permenungan. Salah satu dari dua rencana tulisan itu sudah mengarah tentang topik tersebut, namun tampaknya tersendat di tengah jalan. Entahlah, untuk menulis tentang permenungan pun, diriku malah merenung-renung, memikirkan kondisi sulit di sekitar, dan praktis akhirnya ketikan tersebut teronggok begitu saja.

Sebenarnya hal seperti di atas bukan kejadian baru. Prinsip saya: setiap terbetik ide, langsung tulis. Apapun yang muncul di kepala, anggap saja brainstorming. Nanti tulisan-tulisan tersebut akan “berkompetisi” sendiri: ada yang akhirnya muncul lebih dulu, ada yang tertunda, dan ada yang malah dimasukkan ke tempat lain.

Hadiah Tuhan

| No TrackBacks

Jika anak-anak kita, bangsa Indonesia, menjadi cemerlang, siapa sebenarnya yang berhak mengenyam hasil dari kecemerlangan itu? Anak-anak itu sendiri, para orang tua mereka, atau masyarakat?

Saya mulai dari Sherina Munaf yang memang dibesarkan di lingkungan musisi sehingga dari kecil, konon, telinganya sudah disetel hanya mendengar musik klasik dan jazz. Energinya yang luar biasa disalurkan di antara vokalnya yang jernih dan bermain piano. Di tempat lain, seperti diketahui banyak orang, dan sebagian orang tua juga menjadi “iri”, melihat Joshua Suherman begitu keletihan menghabiskan usia anak-anaknya dengan jadwal acara yang sangat padat. Sekarang muncul Abdurahman Faiz, yang tumbuh di lingkungan penulis sehingga pada usia dini buah penanya sudah mengantar ke tingkat nasional. Daftar tersebut menjadi sangat panjang jika kita mau lebih teliti lagi, dan karena mereka masih berada pada usia kanak-kanak boleh jadi akan muncul persinggungan antara keinginan mereka sendiri dan orang tua yang mengasuhnya.

Google Friend Connect

About this Archive

This page is an archive of recent entries in the Permenungan category.

Motivasi dan Sikap is the previous category.

Reportase is the next category.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261