Hanya Catatan Hari-hari yang Indah

| 2 Comments | No TrackBacks

Kendati tidak pernah terpikir oleh saya hendak membuat sebuah Weblog yang bercerita tentang keluarga, sesekali saya tuliskan cerita yang saya alami bersama anak-anak. Tempat khusus untuk Farras dan Safira pun pada mulanya terinspirasi oleh halaman khusus yang dituliskan oleh Larry Wall, bapak Perl, untuk si kecil. Sayang halaman tersebut sekarang sudah tidak ada — barangkali si bungsu sudah besar, sehingga tidak perlu dituliskan oleh ayahnya lagi.

Saya tidak pernah mengenyam pendidikan khusus menjadi orang tua, oleh karena itu menjawab pertanyaan Ismail Fahmi, saya hanya akan menuturkan pengalaman yang mau atau tidak (karena menjadi bapak) saya alami.

Terus terang, merencanakan cara mendidik anak, bagi saya adalah dua sisi yang yang cukup sulit. Pertama, setiap kali membaca ulasan tentang pendidikan anak, yang muncul di kepala adalah suasana “harus ini, harus itu” dan sejumlah kecemasan menghadapi zaman yang katanya tambah tidak kondusif terhadap anak-anak. Saya sebut demikian karena memang gaya bahasa para penutur dan pengulas pendidikan anak-anak, terutama yang ada di Indonesia dan lebih-lebih dikaitkan dengan faktor agama atau moral, umumnya masih seperti itu. Mulai dari televisi itu brengsek, ancaman kejahatan seksual, persiapan perilaku masa puber, dst. Daftarnya sangat panjang dan potensial menyebabkan sesak di dada. Saya sadar sebagian dari tulisan tersebut lebih bersifat persuasif, dan sebagian lagi didorong oleh motif pemasaran. (Pemasaran tidak otomatis identik dengan profit, bisa jadi “memasarkan ide” misalnya.)

Kesulitan kedua yang harus dengan jujur saya sampaikan adalah: ongkos pendidikan anak masih mahal. Jikalau saya menyerahkan kepada sebuah lembaga pendidikan yang serius menangani hal tersebut dan berkualitas, tarif yang diminta sering tidak terjangkau. Demikian juga seandainya saya menyediakan sebuah waktu khusus untuk mengikuti pendidikan anak, ongkos dari kesempatan yang saya luangkan untuk itu mahal juga. Lebih dari sekadar “waktu adalah uang”, beberapa tanggung jawab pekerjaan saya sudah cukup menyita waktu.

Apakah dengan demikian persoalan pendidikan anak-anak dibiarkan mengalir begitu saja? Apakah berarti saya lebih memilih belajar Bahasa Belanda misalnya, karena sampai sempat mengkhususkan mengikuti kursus?

Sebelum hal ini menjadi pertanyaan retoris, yang menambah bukti kesulitan pertama sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelum ini, berdasarkan pengalaman, akhirnya saya mendasarkan pada keadaan: seringkali sesuatu yang sulit itu memunculkan jawabannya sendiri. Atau, jika menggunakan ungkapan ilahiah: semakin sulit sebuah keadaan, sebenarnya semakin mudah dijalani, karena memang pilihan bertambah terbatas dan pertolongan-Nya insya Allah akan datang.

Implementasinya begini: apabila karena satu dan lain hal saya tidak sanggup mempelajari teknik mendidik anak secara khusus, maka jalan lain yang dapat ditempuh adalah mengaktualisasikan kondisi sekitar menjadi pendidikan itu sendiri. Memang bukan pekerjaan yang mudah dan banyak keterbatasan yang saya miliki. Kehilangan momen bagus, sikap tidak sabar, kesempatan terbatas, atau kurang inisiatif, adalah beberapa contoh yang saya temui sendiri dalam menghadapi mereka. Terkadang saya pikirkan juga: barangkali bagi seseorang yang mengenyam pendidikan anak secara lebih sistematis dapat lebih baik menghadapi keterbatasan yang saya miliki tersebut.

Namun, mengapa saya menyempatkan belajar Bahasa Belanda? Memang ini hanya ilustrasi — lebih persisnya: kenapa saya belajar ini-itu yang lain, dan bukan belajar mendidik anak? Sebenarnya tidak tepat juga apabila dibandingkan begitu saja. Perlu saya tekankan: saya hampir tidak pernah mengkhususkan belajar suatu materi secara formal, selain pendidikan umum di sekolah. Memang benar saya pernah mengikuti pelatihan Lotus Notes di Jakarta, namun hal itu adalah “hadiah” dari projek yang saya ikuti karena tidak ada kandidat lain yang bersedia. (Setelah tahu ongkos pelatihan tersebut, saya membayangkan sederhana, Coba kalau duit itu dikasihkan ke saya, dan dibelikan sebuah server dan saya dipinjami Lotus Notes….) Begitu juga tentang kursus Bahasa Belanda: karena kebetulan ada pemasukan dari pekerjaan menerjemahkan materi pelatihan dan harga kursus tersebut paling murah dari yang saya dapatkan, saya mencoba ikut. Hasilnya: saya sempat mendalami beberapa tata bahasa dasar, dan sangat sederhana, serta mendapat kesempatan beberapa kali bercakap-cakap dibantu tutor yang mengoreksi. Setelah itu… kesibukan yang saya hadapi, lebih tepatnya lagi “yang lebih menarik hati”, mengakhiri acara belajar bahasa asing kedua tersebut.

Dengan demikian: mana yang lebih susah, belajar lain-lain tersebut atau belajar mendidik anak? Jika dikaitkan dengan tanggung jawabnya, tentu mendidik anak lebih memerlukan perhatian: sejauh-jauh saya menguasai Bahasa Belanda, saya tidak memiliki ambisi sedikitpun untuk memakainya di lingkungan yang berkompetisi dengan pembicara aslinya. Atau jika hendak dibuat deduksi, menjadi sebuah keumuman, masa depan anak-anak tentunya lebih panjang, lebih penting bagi mereka, dibanding keinginan-keinginan saya.

Namun karena Yang Menitipkan Anak-anak tersebut sudah luar biasa dengan skenario-Nya, saya sering bersyukur bahwa sejauh ini seandainya saya dihadapkan pada pertentangan pilihan yang harus diambil, Dia menyediakan jawaban bagian yang lebih tepat untuk diprioritaskan. Memang hal ini sebagian besar berkisar pada faktor keyakinan dan sedikit perasaan harap-cemas. Karena kita adalah manusia, yang sebenarnya banyak sekali tidak mengetahui yang terjadi setelah ini.

Sama “cemasnya” dengan peran saya dalam cerita-cerita anak-anak tersebut. Pada ujung Beyblade yang hilang misalnya, saya juga harus memikirkan: bagaimana seandainya ujung kecil itu tidak ditemukan? Atau pertanyaan yang lebih substansial bagi diri saya sendiri: mengapa dengan bertambahnya ilmu yang saya miliki, saya lebih sering mendahulukan solusi yang lain, dibanding berdoa seperti anak-anak itu? Menyadari bahwa Allah itu sedemikian dekat, sehingga berkait langsung dengan ujung Beyblade yang hilang, adalah sesuatu yang sebenarnya dicari oleh banyak manusia — atau setidaknya oleh saya pribadi.

Dengan demikian apabila saya diajak berdiskusi tentang klub orang tua atau materi yang lebih formal tentang cara mengasuh anak, boleh dikatakan saya bukan orang yang tepat untuk itu. Sejauh ini saya hanya menuliskan hal-hal indah yang saya alami bersama dengan anak-anak.

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/51

2 Comments

Sangat menyentuh….

Doakan saya cepet punya anak (cepet menikah dulu mungkin), biar bisa berdiskusi dengan anda ;)

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on June 6, 2004 3:23 AM.

Pelajaran dari Mena: Lisensi was the previous entry in this blog.

Tiga Buah Struktur is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261