Tanda-tanda Kecil Kiamat

| 2 Comments | No TrackBacks

Seingat saya, pada awalnya dari buku Tanbihul Ghafilin (Peringatan Bagi Yang Lupa), keterangan tentang tanda-tanda kiamat saya baca. Tanda-tanda tersebut dibagi dua: tanda kecil (sugra) dan tanda besar (kubra). Abu Laits as Samarqandi, penulis buku, tidak memberikan keterangan dikaitkan dengan kondisi saat ini — lagipula buku tersebut sudah lama ditulis, termasuk literatur klasik. Setelah itu saya lebih sering mendengar tanda-tanda kiamat disebut lewat pengajian atau khotbah. Biasanya khatib menyebut relevansi dalil-dalil tersebut dengan keadaan saat ini, yakni dikaitkan dengan tanda-tanda kecil kiamat. Walaupun tanda-tanda yang disebutkan oleh para khatib tersebut tidak sama persis (dan juga tidak berbeda total), persamaannya adalah ihwal kemerosotan akhlak masyarakat. Tentu saya maklumi dengan sepenuh hati urusan akhlak menjadi prioritas para khatib.

Ada khatib yang menimpali — biasanya pada sesi tanya-jawab — bahwa tentulah kiamat lebih dekat, dibanding pada masa Rasulullah menyebut hadits yang bersangkutan. Ini mirip dengan metafora bahwa mereka yang berulang tahun sebenarnya jatah hidupnya berkurang setahun.

Sekarang bagaimana dengan isi dalam tanda-tanda kecil itu sendiri? Ini yang acapkali menggelitik saya.

Pertama, saya mengaitkan dengan ilmu kependudukan atau demografi. Sependek yang saya fahami, dengan pertambahan manusia, kompleksitas yang diakibatkan juga meningkat tajam. Ini cukup gamblang, bahkan terlihat pada penambahan benda mati yang harus dikelola, jumlah kendaraan misalnya. Jika satu kendaraan memerlukan sebuah onderdil, dua kendaraan memerlukan dua unit onderdil, pada jumlah tertentu — misalnya sepuluh kendaraan — diperlukan profesi baru, yaitu pengelola ketersediaan onderdil. Dengan kias ini, lebih-lebih untuk manusia, dengan perilaku yang jelas lebih kompleks.

Pertumbuhan jumlah manusia luar biasa pesat: perbaikan tingkat kesehatan dan perubahan cara perang — dua hal yang disebut Thomas Robert Malthus “mengendalikan” jumlah penduduk — membantu akselerasi jumlah penduduk bumi. Bencana alam memang tidak terelakkan, namun menjadi tidak signifikan dibanding angka kelahiran. Pertumbuhan ini akan menimbulkan peluang dan persoalan baru, ditambah lagi faktor sebaran yang juga bervariasi, baik dari sisi piramida usia, juga berdasarkan wilayah.

Salah satu persoalan yang muncul adalah penurunan kualitas hidup, baik kualitas keperluan jasmani, dan sangat mungkin berlanjut ke aspek ruhani. Ringkasnya, penurunan kualitas hidup ini salah satu penyebab kemerosotan akhlak. Ahli demografi dapat menjelaskan hal ini dengan lebih baik, termasuk menyodorkan pemodelan yang relevan.

Kedua, kaitan dengan statistik. Sering khatib menjelaskan terjadi peningkatan kebobrokan moral di masyarakat, namun belum sampai pada cacah peningkatan. Apakah jumlah kejahatan yang terjadi saat ini memang lebih banyak atau sebenarnya tetap dibanding periode yang lalu. Termasuk penilaian kualitas kebobrokan itu sendiri. Terkait dengan isu jumlah penduduk pada pemikiran pertama, akan penting mengaitkan dengan jumlah penduduk dalam bentuk persentase. Jadi misalnya, dari sisi statistik, cacah jumlah maksiat dalam sebuah populasi meningkat, namun sebenarnya secara persentase tetap. Rujukan persentase dapat diambil dari jumlah penduduk atau rentang waktu, karena pengertian “masa lalu” dan “masa kini” perlu dipertegas juga.

Apakah hal ini mengurangi makna “tanda-tanda kecil kedatangan kiamat”?

Hari akhir atau kiamat termasuk rukun iman dalam Islam, dengan demikian berada pada domain keyakinan. Mempertimbangkan aspek demografi dan statistik di belakangnya bukan bertendensi mengurangi bagian tersebut, melainkan justru memberi pemaknaan yang lebih baik terhadap cara memotivasi umat. Dengan memaparkan potensi risiko yang timbul dari penambahan jumlah penduduk, umat dapat diajak berpikir mengupayakan cara agar peningkatan kemerosotan akhlak yang dikhawatirkan khatib dapat dikurangi. Pada giliran berikutnya, tentulah sebuah kualitas kehidupan yang lebih baik, karena semua khatib yang memaparkan soal kemerosotan akhlak senantiasa menutup khotbahnya dengan mengajak jamaah berdoa bersama, menghindari hal yang tidak diinginkan tersebut. Bagaimana agar yang mengendap di kepala jamaah bukan hanya doa, melainkan sebuah wacana yang lebih lengkap?

Hal yang lain, menjadi perenungan — setidaknya buat saya — apakah memang tanda-tanda yang disebut di dalil naqli tentang kemerosotan akhlak tersebut sebenarnya metafor terhadap risiko jumlah manusia yang luar biasa dan tekanan kita terhadap daya dukung bumi? Atau sebuah keadaan lain lagi yang sama sekali berbeda — yang berarti tidak dapat dikaitkan langsung dengan keadaan sekarang? Begitu pula, tinjauan sekilas dari sisi demografi dan statistik di atas semata-mata yang terpikir sebagai model di kepala saya. Sangat mungkin Anda memiliki pemikiran lain yang berbeda.

Wallahualam bisshowab.

Saya komentari terlebih dulu: apapun kaitan dengan segenap perenungan dan pemikiran di atas, ajakan untuk senantiasa menjalankan akhlak yang baik dan berwasiat terhadap sesama tetap sebuah amal ibadah setiap masa. Tidak tergantung dengan waktu kedatangan kiamat yang memang tidak ada seorang pun yang tahu.

Ittaqullah, ittaqullah, haqqa tuqaatih

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/627

2 Comments

Thx ya gan.. atas info na.. lam kenal yah..

kematian itu suatu keniscayaan, hari kiamat juga sebuah kepoastian…..tinggal apa yang sudah kita siapkan untuk menghadapi semua itu

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on March 7, 2010 8:13 AM.

Komunikasi yang Tidak Lancar was the previous entry in this blog.

Format Lebar is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261