Jika anak-anak kita, bangsa Indonesia, menjadi cemerlang, siapa sebenarnya yang berhak mengenyam hasil dari kecemerlangan itu? Anak-anak itu sendiri, para orang tua mereka, atau masyarakat?
Saya mulai dari Sherina Munaf yang memang dibesarkan di lingkungan musisi sehingga dari kecil, konon, telinganya sudah disetel hanya mendengar musik klasik dan jazz. Energinya yang luar biasa disalurkan di antara vokalnya yang jernih dan bermain piano. Di tempat lain, seperti diketahui banyak orang, dan sebagian orang tua juga menjadi “iri”, melihat Joshua Suherman begitu keletihan menghabiskan usia anak-anaknya dengan jadwal acara yang sangat padat. Sekarang muncul Abdurahman Faiz, yang tumbuh di lingkungan penulis sehingga pada usia dini buah penanya sudah mengantar ke tingkat nasional. Daftar tersebut menjadi sangat panjang jika kita mau lebih teliti lagi, dan karena mereka masih berada pada usia kanak-kanak boleh jadi akan muncul persinggungan antara keinginan mereka sendiri dan orang tua yang mengasuhnya.
Salah satu pemenang Olimpiade Fisika tahun lalu, siswa sekolah lanjutan di Jakarta, menghadapi keadaan orang tuanya keberatan apabila dia terus melanjutkan sekolah di bidang Fisika. Bidang tersebut dinilai sulit berkembang di Indonesia dan “tidak menjanjikan.” Terhadap karya Faiz yang diedarkan luas di Internet lewat email, kabarnya, orang tuanya merasa keberatan karena buku yang memuat karya putranya belum terbit. Entah, apakah ini murni keberatan orang tuanya sendiri atau pertimbangan faktor bisnis dari penerbit; yang jelas bukan dari Faiz.
Anak-anak cemerlang itu adalah hadiah Tuhan untuk negeri Indonesia yang dipenuhi persoalan kusut orang-orang tua. Sekaligus ujian dari-Nya terhadap pikiran-pikiran yang di ujungnya hanya berhenti pada keuntungan profit. Karena Tuhan tidak pilih kasih, maka setiap anak seyogyanya cemerlang, mata lamur orang tua saja yang hanya melihat matahari yang benderang, melalaikan bahwa bintang di malam hari pun punya keindahan yang lain. Bintang-bintang itu tak tepermanai jumlahnya, memenuhi segenap imajinasi siapapun yang mengamati di malam hari.
Karena orang tua merupakan orang yang paling dekat dengan anak-anak tersebut, yang lebih langsung mendapat hadiah dari Tuhan, dan yang bertanggung jawab terhadap tapak kaki mereka pada perjalanan berikutnya, maka permintaan agar mereka (atau kita) lebih berhati-hati sangat pantas dikemukakan. Apapun pandangan yang diberikan, imbangi imajinasi anak-anak yang seperti tidak terbatas itu dengan pandangan yang juga jauh. Jika mereka bercerita tentang Umar yang malam-malam berkeliling kota untuk mencari penduduknya yang kelaparan, jangan kerdilkan imajinasi ini menjadi tiras buku atau kepentingan penerbit. Biarkan cerita-cerita mereka tidak dibelenggu oleh penerbit manapun, tidak dikekang oleh angka penjualan. Kita semua ingin mendidiknya menjadi penulis yang hebat, yang ingat hikayat Umar pada saat para pemimpin berebut melupakannya. Kita ingin menjadikan adik kecil ini pengarang yang menulis dari hati dan buah keringatnya, bukan jantung yang berdebar-debar karena dikejar tenggat waktu penerbit.
Memang benar anak-anak perlu es krim, ingin baju baru, atau rekreasi ke Tangkuban Perahu. Sebelum ini semua terpenuhi, mereka lebih perlu lagi kondisi hangat untuk belajar berkontribusi, tertawa bersama, dan bercerita tentang mimpinya. Kita memang tidak akan tahu apakah juara Olimpiade Fisika harus sehebat Einstein untuk dapat hidup makmur di negeri kita, seperti juga kita — sekurangnya saya — juga tidak terlalu yakin bahwa tipikal Einstein itulah yang diperlukan negeri kita. Siapa tahu anak-anak yang semula membayangkan kakek tua itu hebat karena terlibat projek bom atom akhirnya dengan berjalannya waktu menyadari bahwa tulisan-tulisan dia tentang kemanusiaan lebih panjang usianya daripada Projek Manhattan itu sendiri.
Beberapa tahun yang lalu, waktu saya masih masih sempat menonton acara tabloid televisi di salah satu stasiun televisi Indonesia, ditayangkan reportase tentang Joshua dan rumah barunya. Saya dapat membayangkan betapa banyak orang tua tergoda untuk bermimpi memiliki anak yang pada usia sekecil itu sudah menjadi tambang duit. Barangkali juga sebagian anak-anak yang ikut menonton termangu menyaksikan kamar yang penuh mainan dan boneka, termasuk sebuah kolam renang di halaman belakang. Namun demikianlah, kita orang tua dan media massa sering luput dalam meliput. Pernyataan penting dari Joshua dan barangkali diucapkan sambil lalu namun spontan adalah, “… tapi Jo sebenarnya lebih suka di rumah lama…” Identik dengan cerita pada wawancara lain, “tapi Jo kan harus bekerja.”
Kita semua, yang berada pada lingkup lebih makro daripada orang tua mereka, juga memiliki tanggung jawab yang tidak kalah penting. Anak-anak itu nanti akan turun ke jalan, meninggalkan pentas. Jika kita membatasi penghargaan kepada mereka dengan atribut pendek dan semu, maka mereka akan luka dan cedera untuk kesekian kalinya. Imajinasi dan mimpi-mimpi indah mereka sebelumnya terhempas ke tanah dan kepercayaan terhadap sebuah kekuatan buruk yang sulit diubah muncul menggantikan. Lambat laun akan timbul anggapan bahwa lagu yang baik adalah yang bertengger di puncak tangga lagu; atau untuk menjadi pengarang harus kontroversial dan itu berarti harus berikutnya, mendobrak norma susila. Ujung-ujungnya, semua dihitung dari tiras atau jumlah royalti yang diterima.
Ah, anak-anak.
Mereka diciptakan oleh Pemiliknya dengan tujuan
menyelamatkan orang tuanya. Doa mereka untuk orang
tuanya tidak lekang oleh waktu, tidak terputus oleh ajal yang
didoakan. Menurut sebagian kisah hikmah, apabila mereka menangis di
pengadilan mulia kelak, meminta masuk surga bersama orang tuanya,
Allah, hakim yang Maha Adil, berkenan mendengar tangisan itu.
Tambahan pada 9 Des.: Tomi Satryatomo, ayah Faiz, menjelaskan bahwa permintaan mereka, pihak orang tua, berkaitan dengan urusan penerbitan kumpulan karya Faiz oleh Mizan.