Sebenarnya tidak ada yang baru dengan konsep busway di Jakarta.
Sebuah jalur khusus untuk angkutan umum sudah disediakan jauh-jauh waktu. Di sisi paling kiri banyak jalan utama di Jakarta (dan kemungkinan juga di kota-kota besar lain) terdapat lajur khusus untuk bus kota dengan tulisan besar eksplisit. Sayang, jalur ini akhirnya dipakai campur aduk dengan pengguna jalan raya lain dan angkutan umum sendiri tidak disiplin menggunakannya.
Demikian juga kondisi “tidak mendahului” antara satu bus dengan lainnya seperti yang terlihat pada busway sekarang, sudah sejak dulu diatur. Di kaca belakang bus kota ditulis aturan, “Sesama bus kota dilarang saling mendahului.” Namun, sudah menjadi pemandangan umum ketentuan tersebut juga dilanggar.
Terakhir: busway berhenti hanya di halte dan penumpang dengan tertib naik-turun. Ini juga cerita lama: bus kota sudah lama diwajibkan hanya berhenti untuk menaik-turunkan penumpang di halte. Seingat saya aturan ini pernah tegas diterapkan di ibukota (dan barangkali juga di kota-kota lain), namun tidak bertahan lama juga.
Satu-satunya yang baru pada busway adalah di sisi pengoperasian, yakni penegakan aturan dengan batas-batas berupa perangkat fisik. Dari mulai koridor yang merupakan perpanjangan konsep jalur khusus angkutan umum hingga cara menggiring penumpang agar menggunakan halte semua mengandalkan perangkat fisik. Jangan lupa juga: bahkan untuk antre masuk dan keluar bus itu sendiri dipasang seorang petugas di dekat pintu.
Tata cara pendisiplinan dalam bentuk batas fisik berlaku luas di banyak tempat. Di depan kasir bank dipasang tali-temali pemandu antrian. Garis putih sebagai marka jalan tidak cukup: perlu dipasang barikade besi atau beton, papan seng dengan cap Polwiltabes, aneka tanaman seperti penghijauan di tengah jalan, hingga hanya utas tali rafia atau tambang seperti jemuran di tengah jalan. Jangan heran juga, gerbang lapang di Masjid Salman, Bandung, semula dipenuhi pot tanaman agar PKL tidak mengisi halaman masjid; tidak cukup, akhirnya pagar dibangun. Pagar seperti itu pula yang digunakan untuk menghalau PKL di Pasar Simpang Dago, “mengamankan” Monumen Perjuangan di depan Gedung Sate, Bandung, melengkapi taman di sekitar Monumen Nasional, Jakarta, yang menjadi tengaran (landmark) ibukota, hingga gedung anggota dewan yang konon hendak disulap menjadi bak benteng abad pertengahan.
Jika kita belum juga berhasil menemukan cara yang baik untuk melindungi kepentingan umum dari gangguan umum — atau semacam disiplin di tempat publik — tidak mustahil julukan “Negeri Tirai Pagar” menjadi kekhasan negara kita. Batas fisik dalam aneka bentuk tersebut pada giliran pertama akan menghancurkan nilai-nilai estetika ruang publik. Tanpa ampun. Perspektif sudut pandang publik menjadi sempit oleh kerangkeng, jerat, dan aneka barikade fisik. Rambu, marka, navigasi, aturan, dan semua hal yang hanya ditampakkan lewat perlambang atau ketentuan di atas kertas sekadar ornamen yang mudah dicibiri, bahkan dilanggar dengan sok gagah.
Risiko kedua yang sangat mungkin fatal adalah faktor keselamatan. Coba bayangkan jika terjadi bencana di sebuah ruang publik dengan ribuan orang di dalamnya. Jalan keluar untuk menyelamatkan diri menjadi lebih sulit, lebih terbatas akibat barikade fisik di sekeliling tempat tersebut, dan ini akan menimbulkan bencana kedua, yaitu kepanikan. Sebuah pemandangan yang akan menyayat hati dari luar melihat ribuan orang “dikerangkeng” bersama sebuah bencana di dalamnya.
Konsekuensi-konsekuensi sulit dari kondisi sekarang jika kita masih enggan juga belajar berdisiplin dan terus mengandalkan batas fisik.
kalo istana negara dipasangin pager berduri :P
nah pak amal, sampeyan sudah paham, tetapi di kampus sampeyan harus dipasang pagar-pagar itu? UGM jadi mbulet sekarang pak. tanggungjawab sampeyan! nek ora tak carok pisan. hihihii
Lantip, eling… eling… nak! :)
Endonesa kok dilawan. :D sama kayak mecah jalur roda 2 dan mobil di SBY, perlu Bapak Bapak berseragam coklat berdiri di tengah jalan.
resiko bencana? Mari mulai dari rumah sendiri. rumah saya tidak pake teralis. maling masuk lewat jendela? hajar langsung!
ya memang kita itu lucu tur wagu,
lha jalan rusak minta dihaluskan, sesudah halus dikasih asesoris gundukan tiap lima puluh meter, kalau yang lewat pak amal sih gak masalah, lha kalo si abang becak yang nganter beceran bu amal, coba rasakan, ya bu amal harus nambah tip untuk dorong becak setiap lewat gundukan.
pusiiiiing , kata sukma melati harum mewangi
bus way hanya bagus kalau semua syarat keselamatan dan kenyamanan terpenuhi.
sekarang koridor ditambah tapi saya belum yakin apakah janji ada bus dua menit sekali itu bakal terwujud.
Pak Amal, Kalau saya baca tanggapan dari tulisan Bapak yang para pengunjung ‘Coret Moret Amal’ ini buat dapat disimpulkan, bahwa bangsa kita ini “wis macak mikir”. Segala omongan bisa disampaikan. Segala ‘enyelan’ bisa dilemparkan. Dan, segala bentuk ‘kenihilan’ dari pengaruh Freemansori bisa dipaksakan di sini. Misalnya, menghujat ulama okey dan membela diskotek yes. Bukankah ini menunjukkan pengaruh ‘NIHILISME’ milik FREEMANSORI sudah sukses merasuki cara berpikir libralisme bangsa kita ini. Sehingga, kalau kita cermat menyimak tulisan/tanggapan sebagian besar berkesan menggurui sekaligus menyebarkan: Jangan sok suci dan Jangan sok nasionalis. Kalu ada yang menanggapi dari segi agama dan moral serta etika, pasti, deh, segera mendapat cercaan: SOK SUCI. Mohon maaf, kalau tulisan ini memilki makna yang kosong. Terima kasih.
Terima kasih Pak Karim.
Mari kita nikmati dan jalani semua liku-liku ini. Jika dicemooh “sok suci” ada baiknya kita diamkan saja, berdoa dalam hati: mudah-mudahan cemoohan tersebut menjadi doa dan “sok”-nya dihilangkan, menjadi suci dalam arti sesungguhnya.
Mudah dan ringan, kan? Begitulah seharusnya hidup, hehehe…