Dalam rencana, akhir Februari pada tahun kabisat ini hendak saya gunakan untuk menambahi topik Permenungan. Salah satu dari dua rencana tulisan itu sudah mengarah tentang topik tersebut, namun tampaknya tersendat di tengah jalan. Entahlah, untuk menulis tentang permenungan pun, diriku malah merenung-renung, memikirkan kondisi sulit di sekitar, dan praktis akhirnya ketikan tersebut teronggok begitu saja.
Sebenarnya hal seperti di atas bukan kejadian baru. Prinsip saya: setiap terbetik ide, langsung tulis. Apapun yang muncul di kepala, anggap saja brainstorming. Nanti tulisan-tulisan tersebut akan “berkompetisi” sendiri: ada yang akhirnya muncul lebih dulu, ada yang tertunda, dan ada yang malah dimasukkan ke tempat lain.
Seharusnya tidak boleh saya sebut sebagai “kesulitan”, karena pada banyak wacana yang beredar di sekitar saya — seperti koleksi tulisan Ismail Fahmi [1, 2, 3], salah seorang teman yang antusias mengajak bersyukur selalu — dipenuhi oleh ajakan untuk mengolah keadaan apapun menjadi kebahagiaan dan puji syukur. Saya juga ingat kisah hikmah tentang permintaan seorang hamba kepada Allah agar dirinya diberi kebahagiaan dan Allah menjawab, “Yang Kuberikan adalah keberkahan, engkau sendiri yang mengubahnya menjadi kebahagiaan.”
Kalau saya sebut dibombardir oleh pandangan seperti itu akhir-akhir ini, ungkapan tersebut terlalu bombastis. Barangkali lebih tepat disebut “bersyukur pada kadar ekstrim.” Walaupun saya juga masih bertimbang-timbang: tepatkah ungkapan masuk neraka pun disyukuri, seperti disampaikan Gede Prama?
Well, saya kira sudah sangat sepantasnya saya lebih banyak mendengar dan membaca nasehat, oleh karena itu artikulasi yang saya tulis ini benar-benar hanya mengulang penyampaian dari orang lain. Toh, sebagian orang yang mengingatkan perlunya “menyerap” menyebutkan bahwa mata kita dua buah, telinga sama jumlahnya, namun mulut yang hanya satu itu sering lebih banyak cingcong dan kurang memperhatikan saat yang tepat atau materi yang lebih sesuai. Apalagi jika sinis saya kambuh, saya sendiri menjulukinya secara terpeleset sebagai sinisme-masokhis.
Just relax and enjoy the crisis.
Kutipan dari Ashleigh
Brilliant tersebut dijadikan slogan oleh usahawan Mark
Shuttleworth dari Afrika Selatan. Saya menyukai pilihan dia akan
ungkapan tersebut sebagai simpati kepada keadaan yang dialami banyak
orang.
Nikmati saja dan lewati hari ini. Justru melepaskan pikiran agar tidak usah berpikir terlalu macam-macam ini yang sulit. Seperti Chinmi, pendekar Kung Fu Boy, yang belajar keras salah satu jurus menghilangkan keberadaan dirinya. Melewatkan suara dari kuping kiri ke kanan, membiarkan pemandangan di depan mata tanpa diembel-embeli penafsiran simbolik. Menurut salah seorang teman, Mila D Anasanti, yang menyodorkan pemikiran Florence Littauer, saya termasuk penggemar ungkapan simbolik dan sensitif terhadap deskripsi seperti itu. Jadilah saya mengawang-awang, tidak cukup memahami pengertian tekstual, namun melecut-lecut gambaran lain di dalam pikiran.
Rasanya sudah jungkir balik berusaha bersyukur, namun — maafkan aku — kadangkala terbit juga perlawanan sporadis. Bukan menolak konsepsi bersyukur itu sendiri, melainkan menyodorkan keinginan lain: seharusnya bisa lebih baik, Cak! Atau, dirimu sudah babak belur, belepotan kepayahan, carilah jalan keluar!
Seperti disebut Ismail juga, adakalanya ungkapan atau doa tersumbat hanya sampai di tenggorokan. Tidak sampai terucapkan. Begitu berusaha dibicarakan dengan orang paling terdekatku, kedua anak yang masih belum akil balig, suasana menjadi muram dan segera tidak dilanjutkan. Pengetahuan kedua anak itu tampaknya belum memungkinkan mereka mengerti maksud pembicaraan tersebut.
Jadilah memang lebih baik pikiran dan hati “dipaksa” (atau “diajak” kalau ingin lebih santun) untuk duduk tuma’nina dulu. Karena seringkali pemberontakan jika tidak hati-hati hanya membawa-bawa keakuan yang kurang bersih. Brrr… menjelang masuk musim semi pun di luar masih dingin: kulitku tergores-gores dan darah segar sesekali keluar dari pecahan kulit itu.
[22:04] Pada acara makan malam di Rumah Makan Peking, Ismail menyebut Farras dan Safira sebagai “teman spiritual” saya. Wah!
Pada saat diri kita sudah bukan yang terpenting lagi dan keberadaan diri kita hanyalah sekedar fakta kehadiran tubuh kita, pada saat itulah semua aliran rasa syukur dan rasa damai mengalir deras di sekujur tubuh.
Hanya sekedar berbagi pengalaman pribadi =). Groningen masih dingin ya? Disini masih salju lagi =(
Terima kasih. Ungkapan yang bagus.
Groningen sudah mulai menghangat, naik di atas 5C. Sekalipun agak terlambat, karena dulu musim dingin juga datang telat.
Jika kita menutup mata dan berusaha melepaskan pemahaman atas malam atau siang, terang atau gelap, waktu atau ruang. Kita mungkin akan memahami betapa tidak nyata ruang dan waktu sesungguhnya. Orang-orang hidup di dalam jam dan kalender, dan di dalam struktur yang diciptakan manusia berdasarkan kesepakatan bersama. Jadi ingat, Einstein sendiri mengajari kita bahwasanya semua benda bisa diuraikan menjadi bagian-bagian yang terkecil dan pada titik terkendali tersebut, sesuatu yang bisa lewat menembus objek lain yang kelihatannya padat. Dia juga percaya kemampuan menembus ruang dan waktu, mencemooh gagasan tentang realitas absolut yang selama ini dianggap sebagai gagasan yang bisa diandalkan. Kebanyakan orang melihat realitas sebagai sejenis jaminan yang bisa diandalkan. Sejak masih kanak-kanak saya sendiri hanya ingat bahwa rasa aman yang bisa diandalkan hanya bisa diperoleh jika saya kehilangan kesadaran atas segala sesuatu yang biasa dianggap sebagai realitas. Dengan melakukan ini saya bisa melepaskan segala rasa tentang diri. Konon, strategi ini juga kerap disebut sebagai tingkat tertinggi dari meditasi.
//sekedar berbagi juga ;)