Recently in Motivasi dan Sikap Category

Dari Mana Dapat Dimulai?

| 1 Comment | No TrackBacks

Setelah menyadari kepentingan untuk melakukan hal yang lebih benar, pertanyaan yang kerap muncul: dari mana dapat dimulai?

Persoalan begitu banyak dan berjalin berkelindan. Sudah berniat membuang sampah dengan benar, ternyata tempat sampah tidak tersedia. Hendak menyeberang, kelengkapan dasar jalan raya seperti marka jalan dan tempat penyeberangan tidak ditemukan. Mengurus administrasi yang sangat mendasar seperti KTP pun sulit mendapatkan prosedur yang baku.

Memang benar, dengan banyak persoalan mudah pula dipilih satu hal untuk dibenahi. Dari bangun tidur hingga bersiap tidur kembali semua ladang ibadah perbaikan keadaan, menurut sebagian dari mereka. Kerjakan saja kebaikan, tidak perlu menjadi repot memilih-milih. Hingga muncullah jargon, “mulai dari diri sendiri.”

Pelajaran Melawan Ketidakjujuran

| No TrackBacks

Pak Guru di kelas membawa setumpuk soal latihan, dibagikan secara tertutup di setiap meja siswa. Soal Ilmu Pengetahuan Sosial. Bukan bagian dari Ujian Nasional dan ini kelas Sekolah Dasar. Penjelasan Pak Guru menggetarkan, Anak-anak, ini ada soal latihan IPS. Dari tanggal yang ditulis di depan, ini adalah soal sesungguhnya untuk ujian IPS nanti. Semua terdiam, Pak Guru berhenti sejenak.

“Soal sesungguhnya” barangkali lebih dapat dimengerti siswa dibanding kata “bocoran” yang lebih sering dipakai di belantara perkabaran.

Menurut kalian, akan diapakan lembar soal ini?, demikian pertanyaan Pak Guru, membuka pembicaraan lagi.

Tanda-tanda Kecil Kiamat

| 2 Comments | No TrackBacks

Seingat saya, pada awalnya dari buku Tanbihul Ghafilin (Peringatan Bagi Yang Lupa), keterangan tentang tanda-tanda kiamat saya baca. Tanda-tanda tersebut dibagi dua: tanda kecil (sugra) dan tanda besar (kubra). Abu Laits as Samarqandi, penulis buku, tidak memberikan keterangan dikaitkan dengan kondisi saat ini — lagipula buku tersebut sudah lama ditulis, termasuk literatur klasik. Setelah itu saya lebih sering mendengar tanda-tanda kiamat disebut lewat pengajian atau khotbah. Biasanya khatib menyebut relevansi dalil-dalil tersebut dengan keadaan saat ini, yakni dikaitkan dengan tanda-tanda kecil kiamat. Walaupun tanda-tanda yang disebutkan oleh para khatib tersebut tidak sama persis (dan juga tidak berbeda total), persamaannya adalah ihwal kemerosotan akhlak masyarakat. Tentu saya maklumi dengan sepenuh hati urusan akhlak menjadi prioritas para khatib.

Ada khatib yang menimpali — biasanya pada sesi tanya-jawab — bahwa tentulah kiamat lebih dekat, dibanding pada masa Rasulullah menyebut hadits yang bersangkutan. Ini mirip dengan metafora bahwa mereka yang berulang tahun sebenarnya jatah hidupnya berkurang setahun.

Sekarang bagaimana dengan isi dalam tanda-tanda kecil itu sendiri? Ini yang acapkali menggelitik saya.

Komunikasi yang Tidak Lancar

| 1 Comment | No TrackBacks

Tercetuslah pada beberapa kali kasus kesalahpahaman atau konflik bahwa persoalan tersebut mencuat semata-mata, “karena komunikasi yang tidak lancar.” Miskomunikasi, dari miscommunication.

Ada benarnya: kekeliruan memahami gaya pihak lain, media penghubung, suasana percakapan, adalah sedikit dari contoh faktor kemungkinan kegagalan berkomunikasi. Perbaikan dapat dilakukan dengan menghubungkan lagi pihak-pihak terkait lewat media baru atau penjelasan yang cukup. Relatif mudah, karena yang ditangani soal teknik berkomunikasi.

Ziarah Nostalgia

| 1 Comment | No TrackBacks

Menjenguk tempat yang dikaitkan dengan masa lalu sering menorehkan catatan tersendiri. Pulang kampung, mudik lebaran, ziarah nostalgia, atau benar-benar fungsional berlibur di tanah air buat perantau di negara lain. Kendati penamaan dan peristiwa faktualnya sebenarnya berhubungan dengan tempat, namun aspek waktu “ke belakang” lebih dominan. Berbeda dengan perjalanan dinas yang sangat sedikit — atau malah tiada — memiliki kaitan masa silam, ziarah nostalgia sarat dengan pembandingan, satu sisi berisi gurat-gurat kenangan dan sisi yang lain realita sekarang. Keduanya seolah muncul bak dua kolom tabel yang siap dikomentari per item.

Menekuni yang Lama, Melanjutkan dengan yang Baru

| 3 Comments | No TrackBacks

Bulan Juli yang telah lewat berisi hal-hal patut disyukuri. Saya bertemu dengan sobat-sobat teman lama yang mengenal saya sebagai narablog, mengobrol dan memberi motivasi kepada teman-teman baru. Ringkasnya: bersinggungan lagi dengan era lama. Memang terbersit perasaan khawatir: dapatkah saya cukup konsisten menyelami lagi “dunia lama” tersebut, sebagai penulis blog? Sementara aneka ragam permainan baru bertebaran dan memikat di Ranah 2.0. Sumber daya saya tetap atau terbatas, sedangkan pernik yang ditangani bertambah. Jika tak cakap mengelola, aktivitas tersebut dapat terbengkalai menjadi kegiatan sesaat.

Blog-foto telah saya jelajahi di Flickr dan komunitasnya. Tentu ini bukan representasi menyeluruh tentang photoblogging di Indonesia. Saya sendiri merasa seperti “sok bergaya” memajang foto di Flickr kemudian beranggapan sebagai photoblogger. Jangan khawatir: saya termasuk yang memasang definisi longgar untuk kegiatan blog. Semua orang berpotensi untuk ikut di dunia blog dan banyak cara menyajikan ide kita. Ini cerita panjang dan biasanya sudah disajikan di acara-acara perbincangan dengan narablog.

Ihwal Retorika

| 6 Comments | No TrackBacks

Optimisme memang tidak tumbuh secepat sebuah kampanye partai politik dilangsungkan, tidak juga selekas sebuah tabligh akbar usai. Kita maklum, yang dibicarakan selama dua perhelatan megah tadi adalah persoalan-persoalan yang berjarak dari situasi (bahkan lokasi) dan sesuatu yang “ingin dihindari dengan memalingkan muka darinya”. Keduanya penting menurut penggagasnya karena — salah satunya — untuk menumbuhkan optimisme, namun sering berbeda diterima hadirin, menjadi “sesuatu yang dikutuk secara massal” atau “sesuatu yang dilupakan sangat sejenak.”

Dan retorika itu, Tuan-tuan. Ingatan kita tentang cara bertanya secara retoris di alun-alun atau lapangan terbawa ke mana-mana. Para penulis menjadi kehilangan gairah untuk mengajak pembacanya berkontemplasi, merenungi keniscayaan hidup, keberkahan waktu dan ruang, kenikmatan hari ini, karena tulisan di media ranah publik terbawa gaya acara di alun-alun di atas.

Lapis Tengah

| 5 Comments | No TrackBacks

Saya cukup percaya bahwa saat ini negara kita Indonesia memerlukan lapis tengah jauh lebih penting dibanding lainnya. Lapis atas berisi para ahli dengan banyak konsep mereka, sehingga terkadang sedikit dicemooh oleh publik, Ah, itu kan hanya teori. Praktiknya lain… Sedangkan di lapis bawah yang berjumlah sangat banyak — seperti bentuk piramida — adalah masyarakat kebanyakan yang — seperti digambarkan Ki Hajar Dewantoro — tut wuri handayani, atau “mengikut”.

Siapa yang berada di “lapis tengah”? Menurut saya adalah mereka yang bekerja di lapangan, menggunakan konsep yang sudah disusun para ahli, melakukan sejumlah keputusan kerekayasaan atau manajerial, dan mengarahkan usahanya pada tujuan efektif yang dapat diterapkan. Sebagian disebut sebagai “agen perubahan”: baik pada perubahan dari tiada menjadi ada, atau dari kondisi stagnan menjadi bergerak dan tekun pada jalur tersebut. Lapis tengah ini memindahkan energi debat kusir kompetisi antarkonsep ke arah pemikiran cara yang implementatif agar pilihan yang diambil dapat beroperasi di lapangan. Misalnya: alih-alih berkerut memikirkan sejauh mana batas pengertian korupsi — yang acapkali menghasilkan tuduhan bernuansa paguyuban bahwa pemberantasan korupsi bersifat “tebang pilih”, lapis tengah lebih berorientasi mencari cara yang lebih realistis agar budaya korupsi sehari-hari mulai dikurangi.

Blog Foto

| 5 Comments | No TrackBacks

Seperti halnya perkenalan saya dengan aktivitas menulis di blog, pengalaman menekuni blog foto (photoblog) memiliki banyak kemiripan. Sampai saat ini, saya masih tergolong sebagai pemotret amatir dengan bekal kamera saku 2 megapiksel di kantong. Saya akan menceritakan kegiatan tersebut di bawah ini.

Rain Fell Yesterday Afternoon

Pertama dan penting adalah keinginan yang cukup untuk “bercapek-capek memotret”. Sama seperti penulis blog yang justru mengeluarkan daya dan ongkos untuk memasang artikel secara teratur, melakukan pemotretan dan pemasangan di situs Web adalah keharusan untuk pelaku blog foto. Berbeda dengan album foto yang cenderung disediakan statis (dan benar-benar perpindahan fungsional dari album lama), blog foto “lebih hidup” dengan cerita yang dipaparkan lewat foto oleh si pemotret. Kehidupan sehari-hari yang dijumpai si pemotret itu sendiri merupakan contoh tema yang diangkat di blog foto.

Sampai hari ini saya belum pernah mengkhususkan diri untuk berburu obyek foto. Selain hal tersebut lebih merepotkan saya, dari awal saya berpendapat bahwa di sekitar kita banyak obyek yang menarik untuk dipotret. Pada saat berangkat ke kantor, pulang dari kantor, rehat di antara pekerjaan, perjalanan proyek, hingga waktu tunggu yang semula membosankan, saya isi dengan mengambil gambar lewat kamera saku. Saya menjadi lebih menikmati “waktu antara” ini dan percayalah: ada saja momen sekilas yang langsung terlihat menarik untuk dipotret atau baru terlihat menarik setelah diunggah ke komputer.

Playboy Edisi Indonesia Akhirnya Terbit

| 41 Comments | 1 TrackBack

Playboy edisi Indonesia terbit hari ini. Setelah diberitahu teman akan berita di Detikhot, pagi ini Rendy Maulana sudah berkabar akan pengalaman (dan sedikit ulasan) pembelian majalah Playboy dari tempat langganannya. Seperti sudah diduga dari janji redaktur mereka, Playboy edisi Indonesia konon tampil “lebih sopan” dibandingkan aslinya, artikelnya pun berkualitas.

Itu semua juga tidak mengherankan: artikel-artikel Playboy dari negara aslinya sudah beberapa kali diterjemahkan oleh media lokal tanpa harus mendatangkan Playboy sebagai majalah. Dari milis Jurnalisme saya membaca masukan sebagian jurnalis yang mendiskusikan: apakah media seperti Playboy masuk kategori jurnalistik? Pendapat lainnya adalah persoalan empati para jurnalis sendiri terhadap aspirasi masyarakat yang seharusnya termasuk tanggung jawab jurnalis juga. Sedangkan di milis lain, salah satu teman yang menggeluti ilmu ekonomi melihat tidak ada keuntungan apapun dengan datangnya Playboy di Indonesia. Target mereka akan pembaca tertentu tidak masuk akal karena para pembaca tersebut jumlahnya hanya sedikit dan masih tetap dapat memperoleh Playboy dengan membeli di luar negeri misalnya.

Saya juga menyangsikan bahwa aturan distribusi yang terbatas tersebut dapat terlaksana. Bukan apa-apa, karena pada sisi lain saya membaca sendiri pendapat pesimis akan ketentuan pailit pada aturan ketenagakerjaan yang dapat dengan mudah dibuat kongkalikong antara pengusaha dan pihak pemberi status pailit. Intinya: di sebuah tempat yang dianggap “korup”, susah diharapkan aturan dapat ditegakkan dengan benar. Jadi, bolehlah argumen tersebut saya pinjam dalam rangka kesangsian saya akan distribusi terbatas Playboy edisi Indonesia.

Google Friend Connect

About this Archive

This page is an archive of recent entries in the Motivasi dan Sikap category.

Memorabilia is the previous category.

Permenungan is the next category.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261