Ihwal Retorika

| 6 Comments | No TrackBacks

Optimisme memang tidak tumbuh secepat sebuah kampanye partai politik dilangsungkan, tidak juga selekas sebuah tabligh akbar usai. Kita maklum, yang dibicarakan selama dua perhelatan megah tadi adalah persoalan-persoalan yang berjarak dari situasi (bahkan lokasi) dan sesuatu yang “ingin dihindari dengan memalingkan muka darinya”. Keduanya penting menurut penggagasnya karena — salah satunya — untuk menumbuhkan optimisme, namun sering berbeda diterima hadirin, menjadi “sesuatu yang dikutuk secara massal” atau “sesuatu yang dilupakan sangat sejenak.”

Dan retorika itu, Tuan-tuan. Ingatan kita tentang cara bertanya secara retoris di alun-alun atau lapangan terbawa ke mana-mana. Para penulis menjadi kehilangan gairah untuk mengajak pembacanya berkontemplasi, merenungi keniscayaan hidup, keberkahan waktu dan ruang, kenikmatan hari ini, karena tulisan di media ranah publik terbawa gaya acara di alun-alun di atas.

Kalimat klise seperti “kemiskinan kian menjadi-jadi, sedangkan pemerintah dan masyarakat sekitarnya tidak mau peduli,” berserak di banyak tempat, sembari menyisakan pertanyaan jika kita hendak kritis: seperti apa ketidakpedulian itu, masyarakat yang mana? Karena kita sendiri sebagai masyarakat niscaya ogah dituduh sepihak seperti itu. Apakah si penulis sendiri bukan bagian dari masyarakat?

Coba lebih jauh lagi: negara ambruk, bangsa tak beradab, umat tak bermoral, ekonomi terpuruk, politik busuk, kemanusiaan hilang — payah, payah, payah! Hingga, “aku malu menjadi bangsa Indonesia”…

Baiklah, saya dengar semua dan seperti mendengung-dengung di sekitar telinga. Pertanyaan saya senantiasa satu: oke, jika itu semua benar (setidaknya menurut penyampainya), terus ada apa selanjutnya? Apakah jika kita berteriak sedemikian kencang dengan semua ungkapan keputusasaan itu masyarakat menjadi tergerak untuk bangkit? Sayangnya, yang saya amati justru retorika tersebut yang terekam dalam benak pendengarnya dan kemudian diputar-ulang lagi di tempat-tempat lain. Alhasil, di masjid kecil di lorong sempit pun khotib berseru tentang “kemunduran akhlak kaum muslimin di negeri kita”, sedangkan hal-hal lebih mendasar yang perlu diingatkan untuk penduduk lorong terlewat, tak tersentuh.

Pesimisme begitu mudah tersebar, antara lain karena orang tidak menyukainya, tidak ingin terlihat di dekatnya, namun kemudian sedikit yang mengenyahkan pesimisme dengan melakukan sesuatu. Setidaknya dengan cara melihat sesuatu secara proporsional.

Apabila kita suntuk dengan ketidakbecusan di sekitar kita, tetap tersedia proporsi yang memadai untuk hal-hal positif lainnya. Kita sebal dengan korupsi yang seakan tak kunjung reda, namun tetap terbersit harapan untuk mengajak diri kita sendiri, teman kita, kerabat kita, untuk menjauhinya.

Dan untuk apa juga malu menjadi bangsa Indonesia, apabila dengan cara yang baik, jujur, dan bermartabat, kita dapat menjelaskan kondisi yang sedang terjadi di negara kita?

Sekaranglah saatnya!

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/83

6 Comments

Kadang kalo liat situasi negara memang kelihatan menyedihkan, dan malu, tapi tetap, rasa bangga itu ada, huhuhuh

Kata teman-teman yang di luar negeri, dari sana akan terasa bangga menjadi bangsa Indoneisa. Terutama pas ikut upacara di kedutaan.

Eh, bagaimana caranya ke luar negeri?

sebenarnya apapun pandangan kita,akan tetap menjadi “hanya pandangan” saja,kalau semua itu tak ada perubahan ke arah yang lebih baik.Jujur?menjelaskan? kepada siapa kita harus jujur?menjelaskan?apa gunanya? toh..rakyat Indonesia masih tetap melarat.Lihat peristiwa lumpur Lapindo…Tak ada solusi yang sedikit “membesarkan hati rakyat”. Apa kita juga hanya bisa diam? lalu beretorika belaka?

yah itulah bangsa kita, bagus atau tidaknya tergantung dari sisi sebelah mana kia melihatnya.

Setuju …!

Ibaratnya saat mati lampu (listrik maksudnya) dan keadaan gelap gulita, maki-makilah sepuasnya kegelapan itu. Hingga seluruh kosa kata makian dari seluruh penjuru dunia dihamburkan, niscaya kegelapan tak jua beranjak pergi.

Hmm, bukankah untuk mengusir kegelapan yang menyelimuti, cukup sederhana, bahkan dapat dilakukan dalam diam ; ambil lilin, ambil korek, nyalakan lilin. Niscaya kegelapanpun pergi tanpa perlu kita maki.

(Atau bagi yang cukup modal; siapkan lampu darurat mu)

informasi yang menarik, Trims.

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on May 31, 2007 8:21 AM.

Lapis Tengah was the previous entry in this blog.

Bloger is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261