Pak Guru di kelas membawa setumpuk soal latihan, dibagikan secara
tertutup di setiap meja siswa. Soal Ilmu Pengetahuan Sosial. Bukan
bagian dari Ujian Nasional dan ini kelas Sekolah Dasar. Penjelasan
Pak Guru menggetarkan, Anak-anak, ini ada soal latihan IPS.
Dari tanggal yang ditulis di depan, ini adalah soal sesungguhnya
untuk ujian IPS nanti.
Semua terdiam, Pak Guru berhenti
sejenak.
“Soal sesungguhnya” barangkali lebih dapat dimengerti siswa dibanding kata “bocoran” yang lebih sering dipakai di belantara perkabaran.
Menurut kalian, akan diapakan lembar soal ini?,
demikian
pertanyaan Pak Guru, membuka pembicaraan lagi.
Secara spontan, entah dipicu oleh seseorang atau serentak, kelas
dipenuhi teriakan, Bakar, Pak, bakar!
Tidak lama kemudian aksi bakar “soal sesungguhnya” atau bocoran
tersebut berlangsung. Ada yang masih mengintip soal, atau membaca
tulisan dari kertas yang telah hangus. Itu pun ditegur, Loh,
jika memang sudah niat dibakar, kok masih dilihat?
Kejadian di Bandung, di bulan Mei ini, bulan pendidikan nasional. Mengingatkan saya pada aksi semi-teatrikal menyobek buku di film legendaris Dead Poets Society. Jika di film aksi penyobekan dikaitkan dengan pemberontakan terhadap nilai-nilai lama dan membebaskan ekspresi terhadap nilai baru — setidaknya itu yang saya tangkap, di sekolah di Bandung adalah reaksi spontan siswa menghadapi ketidakjujuran.
Tidak terlalu penting memahami kondisi mereka sebelumnya — apakah sudah sampai pada nilai “suci”, yang lebih penting spontanitas untuk menolak ketidakjujuran sebagai nilai suci dan itu harus dikerjakan. Tidak cukup hanya ogah kecurangan dan berdoa, namun tangan bertindak jika mampu. Hal itu diekspresikan dengan pembakaran. Spontanitas itu pula sisi seberang, ekstrem, dari ketidakjujuran.
Terlalu muluk juga ekspresi di kelas ini dikaitkan dengan kepahlawanan, karena selain gagasan tersebut mulia, berderajat tinggi, seharusnya sikap sederhana untuk tetap jujur adalah keseharian. Bukan seremonial dan tidak perlu harus dikerjakan oleh pahlawan. Sebaliknya, tindakan tersebut membanggakan, pantas disyukuri, karena dilakukan oleh warga biasa, siswa di kelas, tanpa metafor kepahlawanan.
Bakar. Dobrak. Robohkan!
Yaitu terhadap gagasan lancung, gelagat curang, dan sikap tidak
jujur.