Menjenguk tempat yang dikaitkan dengan masa lalu sering menorehkan catatan tersendiri. Pulang kampung, mudik lebaran, ziarah nostalgia, atau benar-benar fungsional berlibur di tanah air buat perantau di negara lain. Kendati penamaan dan peristiwa faktualnya sebenarnya berhubungan dengan tempat, namun aspek waktu “ke belakang” lebih dominan. Berbeda dengan perjalanan dinas yang sangat sedikit — atau malah tiada — memiliki kaitan masa silam, ziarah nostalgia sarat dengan pembandingan, satu sisi berisi gurat-gurat kenangan dan sisi yang lain realita sekarang. Keduanya seolah muncul bak dua kolom tabel yang siap dikomentari per item.
Sadari bahwa waktu berjalan
Waktu tidak dapat dihentikan, ia akan terus berjalan membawa perubahan. Tak terelakkan. Alhasil, siapapun yang tinggal di sebuah tempat niscaya terbawa oleh perubanan. Perbedaannya tipis: mereka yang memang berada di dalam sistem tersebut dapat merasakan perubahan secara rinci dan bertahap, sedangkan mereka yang di luar hanya memperoleh gambaran global dan melompat. Jeda rentang waktu cukup lama untuk si penjenguk kerap memunculkan perbandingan dengan masa lalu — yang sebenarnya sudah tidak relevan:
Bandung sekarang panas, ya?
Iyalah, dbandung dulu; kalau dibanding kota-kota lain?Payah nih Indonesia, sekarang macet di mana-mana.
Jelaslah, penduduk Indonesia bertambah sekitar 100 juta sejak Soneta mengeluarkan album 135 juta penduduk Indonesia dan Wak Haji Rhoma masih segar-bugar.
Amati bagian positifnya
Seperti sering didengungkan, no news is a good news, bagian yang bermasalah terlihat lebih dulu, lebih gamblang, dibanding bagian baik yang sebenarnya lebih banyak. Perubahan jelas terjadi, jumlah manusia pun bertambah, keinsyafan akan “kondisi sesuai masanya” tentu diperlukan.
Saya ingat seorang alumni perguruan tinggi suatu sore berkunjung ke
kampus dan berkomentar kepada kolega di sebelahnya, Mahasiswa
sekarang sudah tidak seperti dulu lagi…
dikuti sejumlah
keberatan menurut sudut pandangnya. Walapun hal ini komentar ringan
— dan tanpa pretensi ofensif, tetap saja seperti tidak nyaman
didengar pihak yang dikomentari, seperti halnya tidak nyaman juga
mendengar klaim teman-teman di kampus terhadap mereka yang sudah
berkiprah di lapangan. Padahal keduanya mempermasalahkan hal-hal
yang sangat sepintas dan memang relevan dengan era masing-masing.
Jika ingin membicarakan bagian yang dianggap bermasalah tersebut, lebih enak dan tepat sasaran dengan cara membuka dialog dengan mereka yang memang tinggal di lokasi tersebut. Sekaligus menghindari kecelakaan kebakaran jenggot atau pahlawan kesiangan.
Intinya kalem dulu
Bagaimanapun pengamat dan komentator adalah “pihak luar” dan mereka yang berkecimpung, yang bekerja, lebih tahu persis, persoalan aktual di tempat tersebut. Komentar seperti apapun perlu dimulai dengan kalem, sambil mengumpulkan masukan dari mereka para pelaku.
Sekaligus belajar agar selain hal-hal romantik, rasionalitas tetap perlu diperhatikan, termasuk pada acara klangenan berziarah nostalgia.
okay, intinya kalem dulu….. . saya kalem kok