Lapis Tengah

| 5 Comments | No TrackBacks

Saya cukup percaya bahwa saat ini negara kita Indonesia memerlukan lapis tengah jauh lebih penting dibanding lainnya. Lapis atas berisi para ahli dengan banyak konsep mereka, sehingga terkadang sedikit dicemooh oleh publik, Ah, itu kan hanya teori. Praktiknya lain… Sedangkan di lapis bawah yang berjumlah sangat banyak — seperti bentuk piramida — adalah masyarakat kebanyakan yang — seperti digambarkan Ki Hajar Dewantoro — tut wuri handayani, atau “mengikut”.

Siapa yang berada di “lapis tengah”? Menurut saya adalah mereka yang bekerja di lapangan, menggunakan konsep yang sudah disusun para ahli, melakukan sejumlah keputusan kerekayasaan atau manajerial, dan mengarahkan usahanya pada tujuan efektif yang dapat diterapkan. Sebagian disebut sebagai “agen perubahan”: baik pada perubahan dari tiada menjadi ada, atau dari kondisi stagnan menjadi bergerak dan tekun pada jalur tersebut. Lapis tengah ini memindahkan energi debat kusir kompetisi antarkonsep ke arah pemikiran cara yang implementatif agar pilihan yang diambil dapat beroperasi di lapangan. Misalnya: alih-alih berkerut memikirkan sejauh mana batas pengertian korupsi — yang acapkali menghasilkan tuduhan bernuansa paguyuban bahwa pemberantasan korupsi bersifat “tebang pilih”, lapis tengah lebih berorientasi mencari cara yang lebih realistis agar budaya korupsi sehari-hari mulai dikurangi.

Di semua lini kehidupan bangsa kita, kelompok lapis tengah ini sedang diperlukan — apapun latar belakang dan bidang yang tengah dikerjakan. Kita tidak mungkin berhenti pada konsep global dan beringsut dari detil. Demikian pula pertanyaan retoris apapun atau solusi komprehensif manapun jika tidak dijabarkan ke tanah, hanya berhenti sebagai wacana. Yang mendesak saat ini adalah cara melaksanakan dan teladan pelaksana. Bagian pertama berisi prinsip kerekayasaan dan manajerial, sedangkan teladan diperlukan karena sekaligus menjadi “uji coba” sebuah konsep dan keyakinan penggagasnya. Sekaligus, sebenarnya sebuah ajakan bahwa nasihat pertama kali buat diri sendiri dan, kedua, lebih persuasif dalam mengajak orang lain untuk bergerak.

Inilah saatnya bertindak kemudian mengajak, bukan sebaliknya.

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/82

5 Comments

saya rasa masalahnya bukan pada lapis mana yang kita kurang, tapi di semua lapisan sudah kehilangan integritas dan kejujuran. itu saja.

wah, saya setuju dengan pendapat mas dan mas firman, digabungkan saja.

Masih ingat kata: mulai hari ini dan sekarang juga?

Kayaknya susah zaman sekarang cari sosok teladan.

OK, saya setuju sama pendapat smeua nya digabung semua nya juga boleh tapi yg penting “Inilah saatnya bertindak kemudian mengajak!”

memang susah kalau organ nya besar seperti gajah yg kesusahan mengusir lalat di pantat nya :D

Wah, konsep ini sebenarnya sudah dipakai di dunia sains bukan? Ada yang sibuk berkutat dan debat di atas meja (teoritis), kemudian ada yang bagian memikirkan bagaimana menguji kebenaran perdebatan mereka (eksperimentalis), ada yang kebagian memikirkan metoda pengukurannya (fisikawan terapan), dan terakhir ada yang mengubah itu semua menjadi teknologi yang bisa dipakai orang banyak (insinyur).

Eksperimentalis, fisikawan terapan dan insinyur ini mungkin seperti “lapis tengah” dalam artikel di atas.

Yang jadi masalah, perdebatan di dunia sosial jauh lebih rumit dan pelit daripada perdebatan singularitas pada teori Dentuman Besar, hehehe…

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on February 24, 2007 2:57 PM.

Saddam was the previous entry in this blog.

Ihwal Retorika is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261