Tercetuslah pada beberapa kali kasus kesalahpahaman atau konflik bahwa persoalan tersebut mencuat semata-mata, “karena komunikasi yang tidak lancar.” Miskomunikasi, dari miscommunication.
Ada benarnya: kekeliruan memahami gaya pihak lain, media penghubung, suasana percakapan, adalah sedikit dari contoh faktor kemungkinan kegagalan berkomunikasi. Perbaikan dapat dilakukan dengan menghubungkan lagi pihak-pihak terkait lewat media baru atau penjelasan yang cukup. Relatif mudah, karena yang ditangani soal teknik berkomunikasi.
Namun diagnosis bahwa sebuah kasus terjadi gara-gara komunikasi tidak lancar adakalanya perlu ditelisik lebih jauh. Jangan-jangan penyederhanaan (dan “penudingan”) bahwa komunikasi biang kerok masalah tidak tepat. Apalagi jika penjelasan komunikasi ini sebenarnya semacam lapis permukaan, masih mentah, atau penghalusan dari persoalan yang lebih mendasar.
Pertama, tidak layak komunikasi dijadikan kambing hitam yang kerap kali baru merupakan bagian teknis atau puncak dari gunung persoalan. Hal ini biasanya terlihat pada langkah berikutnya: setelah diupayakan cara berkomunikasi yang lebih baik pun, ada pihak yang menolak perbaikan tersebut. Penolakan tersebut mungkin disampaikan secara eksplisit berupa keengganan berkomunikasi dengan cara baru tersebut, atau penolakan terhadap itikad pihak lain. Alhasil, kendati sudah disodori bahan-bahan yang sudah lebih baik, tetap saja dianggap tidak memadai. Ringkasnya: semua serba salah atau serba kurang.
Jika demikian, di mana persoalan di luar komunikasi tak lancar tadi?
Dari sisi personal, perilaku pihak-pihak yang terkait. Apapun gaya komunikasi mereka, jika masih sulit untuk terbuka terhadap pihak lain, rasanya akan perlu waktu untuk terlebih dulu mempersiapkan ybs. Di sini pentingnya pendidikan akhlak, budi pekerti. Bukan berarti keadaan tersebut harga mati yang tidak dapat diubah, melainkan diperlukan waktu yang cukup untuk perubahan ke arah lebih baik.
Akan halnya di sisi manajemen (barangkali dikenal dengan istilah “manajemen konflik”?) perlu pengarahan agar domain masalah yang dihadapi cocok dengan pihak-pihak yang berkait. Tidak semua anggota pihak-pihak tersebut harus diajak berembug menyelesaikan masalah, sebaiknya cukup perwakilan yang cakap dan peduli. Manajemen bertindak dari persiapan penyelesaian masalah, pelaksanaan penyelesaiannya, dan pasca-penyelesaian. Termasuk bagian akhir adalah persiapan jika mufakat gagal dicapai, berupa kesepakatan untuk berbeda arah namun tetap saling menghormati.
Demikianlah, cukup panjang dan terlalu bervariasi untuk disederhanakan sekadar, “komunikasi yang gagal” atau “komunikasi tidak lancar.” Komunikasi tentulah harus dijaga baik, ada atau tiada persoalan.
Kalo liat gaya om ruhut kemaren di tipi, kayaknya dia sample yang cocok untuk tulisan ini