Recently in Bahasa dan Sastra Category

Bloger

| 1 Comment | No TrackBacks

Majalah Tempo edisi 8-14 Oktober menulis kata “bloger” untuk liputan Internet Vs Barikade Junta. Jika penggunaan kata tersebut menjadi pilihan tim penyunting Tempo, berarti sudah ada inisiatif penyerapan blogger menjadi bloger.

Jika nantinya disepakati, penyerapan ini akan mengurangi jumlah kata berhuruf miring karena masih berupa kata asing. Selama ini saya menyadari kesulitan mengganti blogger dengan “penulis blog” — karena tak semua blog dalam bentuk tulisan, “pengelola blog” atau “pemilik blog” — lebih umum namun kurang menggambarkan aktivitas yang dilakukan.

KBBI

| 7 Comments | No TrackBacks

Perlu “nasionalisme”, kesungguhan, dan modal untuk memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan diterbitkan Balai Pustaka. “Nasionalisme” yang saya maksud sederhana saja: jangan heran jika beroleh pertanyaan, Orang Indonesia kok beli kamus bahasa Indonesia? Jika si pembeli kebetulan hendak pergi ke manca negara dalam rentang waktu lama, ditambahi lagi, Khawatir lupa bahasa Indonesia di sana?

Ya, nasionalisme kita harus cukup logis untuk meyakinkan kita sendiri bahwa penutur bahasa ibu pun perlu rujukan yang memadai, yang dapat dijadikan pegangan. Jika ia sekadar sentimen kebangsaan tempat kelahiran — dan memang nasionalisme masuk kelompok faham romantik — ujungnya menghasilkan dalih “kemalasan” semacam, Bahasa adalah alat komunikasi. Jika kedua belah pihak mengerti maksud pembicaraan, mengapa harus dibuat sulit? Apatah tetap layak pertanyaan tadi dikemukakan untuk keduaratus juta pihak — yakni jumlah penduduk negeri ini?

Negara Belanda yang seluas provinsi Lampung dan berpenduduk sebanyak Jabotabek saja punya berjenis-jenis kamus bahasa Belanda untuk penuturnya sendiri.

Sedangkan kesungguhan itu tercermin dari cara memperoleh KBBI: untuk mendapatkannya, KBBI biasanya tersedia di toko buku papan atas, perpustakaan pemerintah yang berjumlah sangat sedikit, atau jika datang ke pasar alternatif seperti di Palasari, dapat terkecoh oleh versi bajakan. Hendak idealis menunggu versi resmi datang pun kadang perlu waktu tunggu hingga satu bulan. Godaan itu demikian kuat: dengan harga melorot hingga separuh, versi bajakan langsung dapat dibeli tanpa perlu menunggu pesanan toko buku datang. Jangan terlalu berharap KBBI diedarkan di lapak-lapak emperan atau penjaja asongan di perempatan seperti halnya versi bajakan Kamus Inggris-Indonesia (dan sebaliknya) buah karya Echols-Shadily. Pembajak kamus pun pikir-pikir untuk mencetak KBBI dalam jumlah besar.

Titian Muhibah

| No Comments | No TrackBacks

Tadi pagi saya mengikuti diskusi tentang Ambalat di mailing list paguyuban, sehingga pembicaraan sangat mungkin melantur ke mana-mana. Sampai akhirnya, keluar pendapat pribadi tentang perkembangan media massa di Indonesia,

Ini gejala Orba lagi, ada “sudah diatur” dan “nada merdu” 1.

Tapi jangan alergi dulu dengan Orba, seperti juga jangan langsung main tonjok terhadap orang yang ogah demokrasi. Coba ingat-ingat: zaman Orba ada acara elok di TVRI bernama Titian Muhibah. Kita menghadirkan penyanyi sekelas Vina Panduwinata (yang konon adalah idola Sheila Madjid, pelantun sohor dari negeri jiran sebelum puan Nurhalizah) dan Harvey Malaiholo (alumni HI UI lho!) — keduanya sudah meraih banyak penghargaan di festival internasional. Sedangkan dari Malaysia tentu tidak terlupakan puan Sheila Madjid, grup rock Wings (idola mereka “God Bless” van Ahmad “Yik” Albar), dan lantunan akordeon khas perairan Malaka.

Dua stasiun televisi milik pemerintah dan ditonton jutaan orang dengan mesra bertegur sapa dalam siaran langsung diselingi cakap dalam dua ungkapan layaknya Inggris-Amerika bertemu Inggris-British.

Sekarang, macam mana? Televisi kita sibuk dengan idol dan MTV yang jauh dari adab dan saling pengertian. Syair-syair yang diputar juga berisi amuk macam lagu Eminem atau koreografi tak tahu malu pamer pusar nona Spears. Coba kau bandingkanlah perbedaan kehalusan Antara Anyer dan Jakarta, kita jatuh cinta… dengan kenorakan, Oops, I did it again.

Yang terakhir tak ada seni, tiada kalimat elok yang membekas di pikiran kita, selain testimonial dalam bentuk kalimat past tense sangat sederhana yang kita pelajari di SMP.

Salah satu tukang joget kita diliput di CNN lebih lama dari ibu presiden (setengah jam khusus untuk dia) dan masuk Newsweek. Tapi kita tahulah: CNN dan Newsweek setali tiga uang dengan MTV. Yang satu berisi lelucon politikus, satunya lagi berisi orang-orang teriak dan diberi label sebagai “musik”.

Demikianlah, salah satu filosofi yang terkandung; cara bangsa kita memandang saja sudah berubah.

Materi di atas ditulis tanpa dilakukan pemeriksaan yang memadai. Jika terdapat bagian yang kurang teliti, sila dikoreksi.

1 respon terhadap penulis email lain yang meminta diskusi berjalan dengan baik.

"Kamu" dan Kerikuhan

| 3 Comments | 1 TrackBack

Bahasa Indonesia memiliki cukup kata untuk menyebut orang kedua: kamu, kau, dikau, engkau, anda, dan saudara. Semua pemakai dan orang yang belajar Bahasa Indonesia tahu tentang hal itu, namun dalam praktiknya tidak mudah memilih kata yang cocok dengan keadaan. Anak saya pada awal belajar berbicara lengkap, menirukan salah satu adegan di sinetron, berteriak, Bapak, sedang di mana engkau?, dan seisi rumah tertawa mendengar ungkapan polos dia. Padahal Bimbo dengan khidmat melantunkan, Aku dekat, Engkau dekat. Mengapa memanggil orang tua dengan engkau dianggap kurang sopan, sedangkan kepada Khalik “seenaknya” memakai engkau? Begitu pula pada saat ibu saya menjenguk keluarga kami, anak-anak dengan lugunya menyapa, Mbah, kapan kamu datang? Sekalipun saya dengar hal tersebut sebagai kurang sopan, namun secara bahasa dia benar (toh, mereka sudah akrab dengan nenek) dan lebih-lebih memaklumi “bahasa anak-anak.”

Pertanyaan penting sekarang: kapan pemakai bahasa Indonesia menggunakan “anda” atau “kamu”? Jika disebut yang pertama untuk panggilan sopan dan yang kedua panggilan akrab, di mana batas “sopan” dan “akrab” tersebut? Apakah sama dengan orang Belanda yang juga memiliki jij (baca: yay) untuk panggilan akrab, dan u untuk panggilan sopan? Atau seperti halnya orang Jawa yang memiliki kowe dan panjênêngan, atau di Jawa Timur, kóên dan sampéan? Orang Belanda membedakan pemanggilan tersebut umumnya pada pertemuan pertama (sebelum akrab) dan setelah sering bertemu (sehingga akrab). Sedangkan bagi orang Jawa perbedaan tadi melekat terus berkait dengan “status” orang yang dipanggil — baik status sosial atau hirarki keluarga.

Kata-kata

| No Comments | No TrackBacks

Beberapa hari lalu, pembaca RSS yang aku gunakan menampilkan beberapa artikel dengan tema kata-kata dari Muslim Delft secara berkelanjutan. Akhirnya tergerak jemariku untuk sebuah komentar dan ingin aku arsipkan di sini.

Aku beritahu kalian: kata-kata sudah mati Sutardji Calzoum Bachri mengguntingnya dalam lipatan, ujarnya: bebaskan kata dari makna! Aku paparkan untuk kalian: kata-kata sudah kelu karena mulut bisu, hati layu hanya pikiran yang berlagak hidup tapi untuk apa kalau hanya menggerakkan menjadikan lengan berkacak pinggang? Kata-kata sudah muram di hadapanku, hanya tinggal teronggok nol-dan-satu

Malin Kundang (versi 2.4.18)

| 1 Comment | No TrackBacks

Pada kesempatan berkabar terakhir dengan bundanya, sebelum perempuan tua ini berangkat menyusul ke kota, Malin Kundang mengingatkan dengan setengah bercanda, “Emak, apabila tekad Emak sudah bulat hendak menyusulku ke kota, siapakah yang nanti akan menyapa unggas di halaman, menghalau domba di pekarangan?” Emak pun hanya menukas kecil, “Malin, kerinduanku terhadap buah hati lebih dari semua itu. Aku ingin menjumpai orang yang telah aku timang-timang.” Emak tua telah bersikeras hendak pergi.

Kendati unggas nanti akan dengan sendirinya melupakan wajah tua itu, dan domba-domba berlarian hanya menjejak rumput hijau untuk dimakan, angin sepoi-sepoi berbisik. Seperti apakah pemandangan di kota? Apakah diriku akan hilang di tengah padang luas mereka, tersedot oleh gorong-gorong air sebesar pintu lumbung padi itu? Emak menatap ke empat penjuru mata angin dan sekilas dia melihat di satu sudut ufuk langit gemintang berkelip lebih terang. Ia tidak mengerti penampakan seperti itu: yang dipandanginya sebuah gugus melingkar seperti pusaran air. Dari luar seperti terseret ke arah dalam, membentuk lingkaran lagi yang lebih kecil.

Google Friend Connect

About this Archive

This page is an archive of recent entries in the Bahasa dan Sastra category.

Foto is the next category.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261