KBBI

| 7 Comments | No TrackBacks

Perlu “nasionalisme”, kesungguhan, dan modal untuk memiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan diterbitkan Balai Pustaka. “Nasionalisme” yang saya maksud sederhana saja: jangan heran jika beroleh pertanyaan, Orang Indonesia kok beli kamus bahasa Indonesia? Jika si pembeli kebetulan hendak pergi ke manca negara dalam rentang waktu lama, ditambahi lagi, Khawatir lupa bahasa Indonesia di sana?

Ya, nasionalisme kita harus cukup logis untuk meyakinkan kita sendiri bahwa penutur bahasa ibu pun perlu rujukan yang memadai, yang dapat dijadikan pegangan. Jika ia sekadar sentimen kebangsaan tempat kelahiran — dan memang nasionalisme masuk kelompok faham romantik — ujungnya menghasilkan dalih “kemalasan” semacam, Bahasa adalah alat komunikasi. Jika kedua belah pihak mengerti maksud pembicaraan, mengapa harus dibuat sulit? Apatah tetap layak pertanyaan tadi dikemukakan untuk keduaratus juta pihak — yakni jumlah penduduk negeri ini?

Negara Belanda yang seluas provinsi Lampung dan berpenduduk sebanyak Jabotabek saja punya berjenis-jenis kamus bahasa Belanda untuk penuturnya sendiri.

Sedangkan kesungguhan itu tercermin dari cara memperoleh KBBI: untuk mendapatkannya, KBBI biasanya tersedia di toko buku papan atas, perpustakaan pemerintah yang berjumlah sangat sedikit, atau jika datang ke pasar alternatif seperti di Palasari, dapat terkecoh oleh versi bajakan. Hendak idealis menunggu versi resmi datang pun kadang perlu waktu tunggu hingga satu bulan. Godaan itu demikian kuat: dengan harga melorot hingga separuh, versi bajakan langsung dapat dibeli tanpa perlu menunggu pesanan toko buku datang. Jangan terlalu berharap KBBI diedarkan di lapak-lapak emperan atau penjaja asongan di perempatan seperti halnya versi bajakan Kamus Inggris-Indonesia (dan sebaliknya) buah karya Echols-Shadily. Pembajak kamus pun pikir-pikir untuk mencetak KBBI dalam jumlah besar.

Apapun kondisi di atas, bagian ketiga yang paling menyulitkan, yaitu modal untuk memiliki KBBI. Harga kamus setebal 1382 halaman (edisi ketiga) cukup merisaukan untuk mayoritas pemakai bahasa yang belum terbiasa dengan adat “merujuk pada kamus.” Dengan kisaran harga Rp 230.000,00 (saya lupa persisnya) di toko buku utama, KBBI “sejajar” dalam hal harga dengan kamus-kamus utama bahasa Inggris semisal keluarga Oxford atau Collins. Walaupun Diknas telah membagi-bagikan KBBI ke perpustakaan sekolah dan sebagian guru di sekolah lanjutan, harga setinggi itu untuk rujukan yang seharusnya bersanding dengan koleksi buku pribadi sangat mungkin dianggap mahal. Sebagai perbandingan, Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Badudu-Zain, yang boleh dikata berada pada peringkat sesudah KBBI, dipatok pada harga separuh dari KBBI.

Bagaimana jika harga KBBI diturunkan? Skenario yang mungkin sebagai berikut.

Pertama, penyusunan KBBI dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Bukankah artinya pembiayaan pengadaan pekerjaan tersebut diambil dari dana yang diambil dari anggaran pemerintah, yang sebagian disokong oleh pajak dan bertujuan untuk kepentingan publik? Ini yang membedakan KBBI dengan kamus-kamus populer seperti Oxford, Mirriam-Webster, yang memang diusahakan oleh badan independen dan modalnya diambil dari usaha sendiri.

Dengan demikian, materi di dalam KBBI seyogyanya dilepas dengan lisensi terbuka, sehingga lebih bebas digunakan oleh siapapun dalam beragam bentuk. Penerbit tetap mendapat kesempatan memperoleh keuntungan dari usaha pencetakan (misalnya kualitas cetakan, desain kamus), sedangkan materi di dalamnya sendiri dilepas untuk publik. Keuntungan lainnya: apabila terdapat pihak-pihak yang ingin menyediakan dalam format lain — misalnya format digital untuk peralatan elektronik atau situs Web — dengan mudah menyediakannya. Peralatan elektronik tersebut menjadi lebih murah karena hanya berharga perangkat kerasnya dan situs Web malah dapat menyediakan cuma-cuma dengan perolehan pemasukan dari iklan.

Pembiayaan tim penyusun materi KBBI diperoleh dari anggaran Departemen Pendidikan sebagai bagian dari dana untuk Pusat Bahasa. Kondisi yang mirip dengan skenario ini adalah Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang tersedia dalam bentuk keputusan pemerintah dan disalin dengan bebas dalam bentuk buku oleh penerbit. Harga buku EYD menjadi murah.

Kedua, apabila karena alasan tertentu tidak mungkin melepas entri KBBI dengan lisensi terbuka seperti di atas, bagaimana jika bentuk “kamus versi sederhana” yang dilepas untuk publik? Katakanlah isinya hanya semacam senarai lema dan padanan atau arti singkatnya; penjelasan yang lebih lengkap disertai contoh pemakaiannya tetap tersedia dalam bentuk KBBI seperti sekarang ini.

Teladan pilihan kedua ini adalah Senarai Padanan Istilah Teknologi Informasi yang dikeluarkan sebagai Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2001.

Alternatif-alternatif di atas tentu memerlukan langkah kebijakan yang berarti, sehingga persoalan teknis tersebut dapat dipayungi oleh peraturan yang memadai. Tujuan utamanya tidak lain adalah mengajak lebih banyak lagi pemakai bahasa Indonesia menggunakan rujukan yang memadai, bukan sekadar anggapan gegabah bahwa karena bahasa ibu atau sudah dimengerti kedua belah pihak dalam berkomunikasi, maka tinggal dipakai begitu saja.

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/79

7 Comments

Saya mengalami kesulitan yang sama saat mencari KBBI keluaran Balai Pustaka. Sekitar bulan Desember 2005, saya mencari di semua toko buku di Padang, kemudian di beberapa toko buku besar di Bandung, lalu terakhir di Bogor. Jawabannya sama: stok habis dan masih menunggu pengiriman dari “pusat”.

Saya ingat, saat saya masih SMA, saya pernah ke perpustaan sekolah mencari KBBI untuk keperluan tugas. Ternyata saya tidak menemukannya.

Setelah saya baca tulisan Cak Amal saya jadi berpikir bahwa memang KBBI seharusnya bisa didapatkan dengan mudah oleh rakyatnya sendiri. Apalagi kalau sudah berbicara tentang proses pembuatannya yang melibatkan pajak, nasionalisme, dan misi negera yang harus mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalau dipikir sendiri dan terlalu dalam, bisa gemes.

Akhirnya saya beli KBBI keluaran Gitamedia Press. Setelah beberapa kali pakai, buku ini membuat saya gemas. Bagaimana tidak, buku yang notabene seharusnya menjadi acuan pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai akidah sering terjadi salah ketik dan tidak sesuai dengan EYD.

Misalnya:

  • Halaman 818, contoh pada poin 3:
    “deadiine-nya Jum’at mendatang.
    Tidak ada komentar hari ini, “no common”.
  • Halaman 820, contoh pada poin 13:
    Paman bertanya, “Dimana Bapak dan Ibumu?:

KUBI Badudu - Zain sebenarnya sudah sakti sekali, tapi kenapa ya mereka tidak menyertakan jenis kata (kata benda, kata kerja) dalam kamusnya? — Hehe, makasih cak, si KUBI ini benar-benar bermanfaat.

Mudah-mudahan saja kementrian pendidikan nasional RI ada memikirkan masalah ini. Mudah-mudahan saja seretnya pengadaan KBBI tidak karena korupsi atau bisnis-bisnis kotor lainnya.

Tidak hanya eman dari sisi uang —harga kamus besar—, waktu untuk memelototi kamus pun kadang sangat susah. Di sini ‘nasionalisme’ kembali diuji. Lha wong sudah bisa ngomong, napain buka kamus lagi? Hanya orang aneh dan cinta sastra saja barangkali yang mau memakai kata aneh bin sukar. Terlebih, kadang semangat menjadi kendur setelah mengetahui beberapa ‘cacat’ seperti komentar 1#.

Di Rubrik Bahasa Tempo, kerap ada yang mengkritisi bahasa dalam KBBI itu. Ada saja yang ‘usil’ dengan apa yang telah tertulis di sana. Kalau untung, ada tanggapan. Dan memang, kamus setebal itu, tentu ada banyak kekurangan yang perlu ditambal. Sayangnya, update kamus pun memerlukan waktu dan biaya. Ini tentu akan ‘mengecewakan’ para pembeli kamus lama :p

Saya sendiri lebih suka membuka daftar kesalahan dari pada KBBI. Fungsi kamus besar, biasanya hanya sebagai penguat sebuah opini yang lahir dari masalah kata. Uniknya, kita menganggap opini pendukung —biasanya berupa arti kata— dari terjemahan kamus itu tiada terbantahkan!

Agar jelas, apakah yang dimaksud Kawan Febdian adalah buku EYD? Karena yang saya tahu dicetak oleh berbagai penerbit adalah buku EYD, sedangkan KBBI hanya diterbitkan oleh Balai Pustaka.

Bung Imponk, menurut saya ada baiknya para penulis memilih salah satu: dituduh sebagai “orang aneh” atau memang “cinta sastra”. Mengapa tidak?

Kita tetap perlu membuka kamus untuk beberapa hal penting, semisal pemeriksaan ejaan dan arti sebuah lema, dan yang tidak kalah penting adalah pengayaan kosa kata. Kian banyak kosa kata lebih tepat yang digunakan oleh lebih banyak penutur sebuah bahasa, niscaya semakin hidup dan efektif bahasa tersebut. Tentang cacat, selain kita perlu klarifikasi dari Kawan Febdian, bagi saya hal tersebut masih dapat diatasi. Toh, seperti peribahasa menarik: Tiada gading yang tak retak.

Sebuah kamus besar yang dijadikan sebagai rujukan sebenarnya bukan kata mati, seperti halnya bahasa itu sendiri. Alih-alih menghakimi orang lain dengan kamus, lebih baik ditumbuhkan niat positif bahwa kita gunakan kamus sebuah rujukan yang memadai. Boleh saja bantahan dikemukakan, namun apakah kita akan mementahkan salah satu rujukan penting?

Halo Kamerad Amal,

Buku terbitan Gitamedia Press tersebut memang berjudul Kamus Besar Bahasa Indonesia. Saya juga tidak paham kenapa bisa memakai nama yang sama dengan keluaran Balai Pustaka. Sempat terpikir mungkin pengadaan KBBI sudah diswastanisasikan, tapi saya tidak tahu pastinya.

Contoh-contoh yang saya berikan memang berada pada bab EYD. Sejauh ini keretakan gading si buku yang saya dapati memang masalah typoerror alias salah ketik/tulis. Di bagian kamus sendiri beberapa kali juga pernah saya tangkap - sayang saat saya menulis komentar ini tidak ingat lagi kata yang mana itu.

Rasa gemas memang ada, tapi bukan berarti marah lantas membuang buku. Hehe… Sekalian berlatih kesabaran, toh bagian-bagian yang benar masih bisa dijadikan rujukan.

Butuh Nasionalisme 99%, kesungguhan 0,9% dan modal 0,1% …. baru jalan .. Jadi, Nasionalismenya dulu yang perlu dibenahi …

Wawaw…saya ketemu link ini sehabis meng’google’ harga KBBI. 230 rb???

KBBI, akankah membuka kamus on line?

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on October 29, 2006 5:50 AM.

Batas Fisik was the previous entry in this blog.

Blog Foto is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261