March 2005 Archives

Sebuah Cara (tidak) Penting Memahami Atmosfir Blog

| No TrackBacks

Setidaknya dalam beberapa bulan terakhir ini ada dua persoalan yang menjadi pembicaraan ramai di atmosfir penulis blog di Indonesia: Roy Suryo dan Anne Ahira. Karena ditulis bak kenduri dan “keroyokan” besar — dibantu oleh kepedulian terhadap standar Web sehingga terangkat pada peringkat atas di mesin pencari — atmosfir ini mengundang banyak tamu untuk berkomentar.

Di antara komentar, yang tentunya jumlahnya lebih banyak lagi dari jumlah tulisan, terselip beberapa sindiran atau kalimat-sedikit-mengejek (entah serius atau sekadar bercanda), yang mempertanyakan alasan para penulis blog meributkan sesuatu, misalnya:

  • Buat apa sih ribut? Yang setuju silakan, yang tidak urus lainnya;
  • Hebat banget tokoh kita ini, sampai-sampai banyak yang meributkannya, membahas, dan buang-buang waktu;
  • Ah, semua orang sudah tahu kok. Biar saja dia dianggap pahlawan oleh media.

Tentu saja, tidak semua komentar seperti itu perlu direspon. Ada hal yang lebih penting, yaitu memahami “gerakan” yang disebut “ribut-ribut” ini. Antara lain karena memang sedang terjadi perubahan dan penyeimbangan kekuatan.

Tak Terkorbankan

| No TrackBacks

Tentang Nyonya Astini, terpidana hukuman mati perempuan pertama di Indonesia, Donny Gahral Ardian, staf pengajar di UI mengakhiri tulisannya dengan

Bagi saya, reformasi hukum tak akan beranjak kemana-mana sebelum ambiguitas ini diselesaikan. Dengan kata lain, reformasi hukum bukan sekadar perubahan pasal per pasal. Ia juga berarti pemeriksaan skema-skema nilai dan ambiguitas yang mungkin ada. Tanpa itu, sistem hukum kita tidak akan “hidup” dan sejalan gerak kesadaran moral dewasa ini. Kita tak bisa mengelak dari dilatasi moral yang bersumbu pada takterkorbankannya (inviolability) manusia atas alasan apapun. Itulah corak pokok humanisme kontemporer.

— Sumber: Mengapa Mesti Hukuman Mati?.

Benarkah manusia merupakan elemen yang tidak terkorbankan atas alasan apapun di muka bumi yang fana ini?

Titian Muhibah

| No TrackBacks

Tadi pagi saya mengikuti diskusi tentang Ambalat di mailing list paguyuban, sehingga pembicaraan sangat mungkin melantur ke mana-mana. Sampai akhirnya, keluar pendapat pribadi tentang perkembangan media massa di Indonesia,

Ini gejala Orba lagi, ada “sudah diatur” dan “nada merdu” 1.

Tapi jangan alergi dulu dengan Orba, seperti juga jangan langsung main tonjok terhadap orang yang ogah demokrasi. Coba ingat-ingat: zaman Orba ada acara elok di TVRI bernama Titian Muhibah. Kita menghadirkan penyanyi sekelas Vina Panduwinata (yang konon adalah idola Sheila Madjid, pelantun sohor dari negeri jiran sebelum puan Nurhalizah) dan Harvey Malaiholo (alumni HI UI lho!) — keduanya sudah meraih banyak penghargaan di festival internasional. Sedangkan dari Malaysia tentu tidak terlupakan puan Sheila Madjid, grup rock Wings (idola mereka “God Bless” van Ahmad “Yik” Albar), dan lantunan akordeon khas perairan Malaka.

Dua stasiun televisi milik pemerintah dan ditonton jutaan orang dengan mesra bertegur sapa dalam siaran langsung diselingi cakap dalam dua ungkapan layaknya Inggris-Amerika bertemu Inggris-British.

Sekarang, macam mana? Televisi kita sibuk dengan idol dan MTV yang jauh dari adab dan saling pengertian. Syair-syair yang diputar juga berisi amuk macam lagu Eminem atau koreografi tak tahu malu pamer pusar nona Spears. Coba kau bandingkanlah perbedaan kehalusan Antara Anyer dan Jakarta, kita jatuh cinta… dengan kenorakan, Oops, I did it again.

Yang terakhir tak ada seni, tiada kalimat elok yang membekas di pikiran kita, selain testimonial dalam bentuk kalimat past tense sangat sederhana yang kita pelajari di SMP.

Salah satu tukang joget kita diliput di CNN lebih lama dari ibu presiden (setengah jam khusus untuk dia) dan masuk Newsweek. Tapi kita tahulah: CNN dan Newsweek setali tiga uang dengan MTV. Yang satu berisi lelucon politikus, satunya lagi berisi orang-orang teriak dan diberi label sebagai “musik”.

Demikianlah, salah satu filosofi yang terkandung; cara bangsa kita memandang saja sudah berubah.

Materi di atas ditulis tanpa dilakukan pemeriksaan yang memadai. Jika terdapat bagian yang kurang teliti, sila dikoreksi.

1 respon terhadap penulis email lain yang meminta diskusi berjalan dengan baik.

Posko Ganyang

| No TrackBacks

Baru terpercik sedikit letupan, posko ganyang-mengganyang langsung didirikan. Barangkali ini teladan yang diberikan selama musim kampanye yang telah beberapa kali lewat. Beberapa orang bersatu atas dasar tidak menyukai sesuatu dan mendirikan pos ronda. Tidak ada pendidikan yang menjelaskan alasan suka atau benci tersebut secara rasional, yang lebih penting banyak simpatisan dan penggalangan.

Sekali lagi: rakyat yang dihimpun, dan lebih menyedihkan lagi menggunakan embel-embel, “eks TKI asal Malaysia yang sudah mengetahui sebagian geografis negara tetangga itu dan bersedia melakukan perlawanan jika dibutuhkan.” Apa masih kurang juga pelecehan kita terhadap TKI sehingga masih diperah untuk menjadi agen rahasia amatir dan ditunggangi sebagai tentara angkatan kesekian jika dibutuhkan? Benar-benar alasan yang tidak mendidik, tidak menghargai orang lain. Mana yang lebih memilukan: menghina Negara Kesatuan Republik Indonesia atau menghina kemanusiaan lewat perlakuan terhadap TKI?

Republik kita masih dibela dengan cara mengorbankan orang lain, bukan pengorbanan kita sendiri.

Saling Sikut atau Diskriminatif

| No TrackBacks

BBM telah dicabut subsidinya. Seperti keputusan lain yang sudah-sudah, pemerintah berusaha menjelaskan dengan segenap kemampuannya bahwa dana tersebut dapat dialihkan ke sektor lain, sedangkan para penentang membawa pertanyaan ke konteks yang jauh yakni korupsi. Kabarnya sampai dibuatkan iklan “layanan masyarakat” berisi pendapat para ahli yang mendukung kebijakan tersebut. Hampir semua dari kita setuju dengan alasan pemerintah dalam hal efisiensi pemakaian bahan bakar tersebut dan dampaknya yang lebih luas terhadap gaya hidup. Misalnya dengan harga BBM yang lebih tinggi pemakai kendaraan bermotor dituntut lebih efisien menggunakan kendaraannya.

Kendati demikian, hampir semua juga skeptis dengan janji-janji surga yang dihembuskan pemerintah. Mereka yang protes umumnya melihat persoalan ini pada sisi yang lain yang terkadang menjadi seperti beralih topik. Misalnya janji pemerintah untuk memindahkan subsidi tersebut ke sektor lain, seharusnya jika pemerintah dari dulu sudah dapat dipercaya adil mengisi pos-pos pendanaan, kita tidak perlu dipertanyakan tatkala diskusi kenaikan BBM berlangsung. Kita cukup mengatur dan berhitung sebuah konfigurasi pengalokasian dana yang lebih baik. Tentu tidak salah berdiskusi panjang-lebar, namun cenderung bertele-tele akhirnya menjadi debat kusir lagi.

Google Friend Connect

About this Archive

This page is an archive of entries from March 2005 listed from newest to oldest.

February 2005 is the previous archive.

April 2005 is the next archive.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261