Baru terpercik sedikit letupan, posko ganyang-mengganyang langsung didirikan. Barangkali ini teladan yang diberikan selama musim kampanye yang telah beberapa kali lewat. Beberapa orang bersatu atas dasar tidak menyukai sesuatu dan mendirikan pos ronda. Tidak ada pendidikan yang menjelaskan alasan suka atau benci tersebut secara rasional, yang lebih penting banyak simpatisan dan penggalangan.
Sekali lagi: rakyat yang dihimpun, dan lebih menyedihkan lagi menggunakan embel-embel, “eks TKI asal Malaysia yang sudah mengetahui sebagian geografis negara tetangga itu dan bersedia melakukan perlawanan jika dibutuhkan.” Apa masih kurang juga pelecehan kita terhadap TKI sehingga masih diperah untuk menjadi agen rahasia amatir dan ditunggangi sebagai tentara angkatan kesekian jika dibutuhkan? Benar-benar alasan yang tidak mendidik, tidak menghargai orang lain. Mana yang lebih memilukan: menghina Negara Kesatuan Republik Indonesia atau menghina kemanusiaan lewat perlakuan terhadap TKI?
Republik kita masih dibela dengan cara mengorbankan orang lain, bukan pengorbanan kita sendiri.
Omong-omong, mengapa tidak menyerahkan urusan ini kepada tentara? Tidak perlu terlalu menyalahkan dalam hal ini: bapak gubernur pun masih lebih percaya pada penggalangan massa dibanding polisi yang sebenarnya lebih berwenang mengurus ketertiban. Pantaslah jika rakyat hanya ikut meniru.