Playboy edisi Indonesia terbit hari ini. Setelah diberitahu teman akan berita di Detikhot, pagi ini Rendy Maulana sudah berkabar akan pengalaman (dan sedikit ulasan) pembelian majalah Playboy dari tempat langganannya. Seperti sudah diduga dari janji redaktur mereka, Playboy edisi Indonesia konon tampil “lebih sopan” dibandingkan aslinya, artikelnya pun berkualitas.
Itu semua juga tidak mengherankan: artikel-artikel Playboy dari negara aslinya sudah beberapa kali diterjemahkan oleh media lokal tanpa harus mendatangkan Playboy sebagai majalah. Dari milis Jurnalisme saya membaca masukan sebagian jurnalis yang mendiskusikan: apakah media seperti Playboy masuk kategori jurnalistik? Pendapat lainnya adalah persoalan empati para jurnalis sendiri terhadap aspirasi masyarakat yang seharusnya termasuk tanggung jawab jurnalis juga. Sedangkan di milis lain, salah satu teman yang menggeluti ilmu ekonomi melihat tidak ada keuntungan apapun dengan datangnya Playboy di Indonesia. Target mereka akan pembaca tertentu tidak masuk akal karena para pembaca tersebut jumlahnya hanya sedikit dan masih tetap dapat memperoleh Playboy dengan membeli di luar negeri misalnya.
Saya juga menyangsikan bahwa aturan distribusi yang terbatas tersebut dapat terlaksana. Bukan apa-apa, karena pada sisi lain saya membaca sendiri pendapat pesimis akan ketentuan pailit pada aturan ketenagakerjaan yang dapat dengan mudah dibuat kongkalikong antara pengusaha dan pihak pemberi status pailit. Intinya: di sebuah tempat yang dianggap “korup”, susah diharapkan aturan dapat ditegakkan dengan benar. Jadi, bolehlah argumen tersebut saya pinjam dalam rangka kesangsian saya akan distribusi terbatas Playboy edisi Indonesia.