September 2004 Archives

"Kamu" dan Kerikuhan

| 3 Comments | 1 TrackBack

Bahasa Indonesia memiliki cukup kata untuk menyebut orang kedua: kamu, kau, dikau, engkau, anda, dan saudara. Semua pemakai dan orang yang belajar Bahasa Indonesia tahu tentang hal itu, namun dalam praktiknya tidak mudah memilih kata yang cocok dengan keadaan. Anak saya pada awal belajar berbicara lengkap, menirukan salah satu adegan di sinetron, berteriak, Bapak, sedang di mana engkau?, dan seisi rumah tertawa mendengar ungkapan polos dia. Padahal Bimbo dengan khidmat melantunkan, Aku dekat, Engkau dekat. Mengapa memanggil orang tua dengan engkau dianggap kurang sopan, sedangkan kepada Khalik “seenaknya” memakai engkau? Begitu pula pada saat ibu saya menjenguk keluarga kami, anak-anak dengan lugunya menyapa, Mbah, kapan kamu datang? Sekalipun saya dengar hal tersebut sebagai kurang sopan, namun secara bahasa dia benar (toh, mereka sudah akrab dengan nenek) dan lebih-lebih memaklumi “bahasa anak-anak.”

Pertanyaan penting sekarang: kapan pemakai bahasa Indonesia menggunakan “anda” atau “kamu”? Jika disebut yang pertama untuk panggilan sopan dan yang kedua panggilan akrab, di mana batas “sopan” dan “akrab” tersebut? Apakah sama dengan orang Belanda yang juga memiliki jij (baca: yay) untuk panggilan akrab, dan u untuk panggilan sopan? Atau seperti halnya orang Jawa yang memiliki kowe dan panjênêngan, atau di Jawa Timur, kóên dan sampéan? Orang Belanda membedakan pemanggilan tersebut umumnya pada pertemuan pertama (sebelum akrab) dan setelah sering bertemu (sehingga akrab). Sedangkan bagi orang Jawa perbedaan tadi melekat terus berkait dengan “status” orang yang dipanggil — baik status sosial atau hirarki keluarga.

Peledakan Bom Jauh dari Kebaikan

| 4 Comments | No TrackBacks

Saya ikut mengecam peledakan bom yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang terjadi hari ini di Jakarta. Tindakan tersebut tidak mengindahkan kemanusiaan, jauh dari pertimbangan hati nurani, dan merupakan tindakan berlebihan. Ketiganya merupakan perkara-perkara besar yang dilarang oleh Allah, Tuhan pencipta semua umat manusia. Apapun dalihnya, para pelaku tersebut telah menjadi orang yang tidak sabar dan memaksakan kehendaknya dengan cara-cara yang jauh dari kebaikan.

Jika pelaku berpendapat bahwa dengan cara tersebut mereka dapat menegakkan prinsip-prinsip yang mereka anut, maka mereka telah berlaku sewenang-wenang karena menjalankan keyakinan tersebut dengan mengorbankan orang lain yang tidak bersalah. Sedangkan apabila para pelaku tersebut mempunyai tujuan buruk, maka mereka menambahi tujuan jahat tersebut dengan cara-cara yang aniaya.

Semoga pintu hati mereka dibukakan oleh Allah, yang menghakimi segala sesuatu dengan penuh keadilan dan kekuasaan.

Penyelesaian di Beslan: Sikat Habis dan Apologi

| No TrackBacks

Kemarin sore berita tentang tindak kekerasan di sekolah anak-anak di Beslan, Rusia, diputar sebagai liputan khusus oleh stasiun televisi Nederland 2. Pada gambaran umum tentang Chechnya yang disodorkan kamera ditunjukkan daerah tipikal reruntuhan Uni Soviet: salju berguguran dari langit, orang-orang berada di luar dengan baju tebal berwarna gelap; ditambah serdadu Rusia yang lalu lalang seperti gambaran di film-film. Beberapa blok rumah digambarkan luluh lantak dan belum direnovasi. Pemapar bercerita tentang konflik yang berkepanjangan dengan pemerintah Rusia.

Setelah itu, liputan masuk ke bagian lain yang agaknya menjadi stereotip baru “pengantar terorisme global”. Perempuan-perempuan mengenakan hijab mulai tampak dalam sebuah komunitas yang dalam bahasa film disebut “islami.” Cerita mulai merangkai keterlibatan gerilyawan Chechnya yang sebelumnya menduduki teater di Moskow dan menyandera penonton di dalamnya. Dalam sebuah wawancara yang intensif dengan ibu salah satu anggota gerilyawan perempuan, muncul plot seperti yang sudah saya baca beberapa kali, misalnya dalam sebuah liputan majalah Time dua tahun lalu tentang rekrutmen anak-anak jalanan di Amerika Serikat menjadi anggota “militan Islam”.

Tokoh cerita, seorang perempuan, diceritakan berubah dari remaja pada umumnya, mendalami Islam, belajar bahasa Arab, dan kemudian menjadi lebih intens dalam persoalan agama, termasuk memutuskan untuk mengenakan hijab, sampai akhirnya menjadi sorotan dunia karena terlibat kasus di dalam teater di Moskow. Dalam salah satu wawancara dia masih sempat menyuarakan isi hatinya, “Kami juga punya suami, anak-anak, dan keluarga…”

Sebagai ekspos persoalan humaniora pelaku-pelaku sebuah peristiwa, saya juga ikut tersentuh. Apapun cap dunia yang melekat pada orang-orang tersebut, mereka masih memiliki suara batin yang seharusnya dimengerti dan dicarikan jalan yang lebih terang. Kalau dia menjadi “kusut” dikaitkan dengan tindakannya, sepatutnya juga dipertanyakan: apa yang menyebabkan seorang yang mendalami Islam justru menjadi kusut?

Google Friend Connect

About this Archive

This page is an archive of entries from September 2004 listed from newest to oldest.

August 2004 is the previous archive.

January 2005 is the next archive.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261