Pengendara Sepeda Motor

| 5 Comments

Waktu masih tinggal di Kabupaten Jember dan setelah itu sempat juga menikmati beberapa saat di Bandung, sepeda motor adalah kendaraan pribadi saya yang menyenangkan. Produk yang pernah saya pakai adalah Honda Astrea 100 dan karenanya dengan lincah dapat ditunggangi sampai dengan masuk gang sempit di daerah Cisitu Lama, Bandung.

Sekarang ini sepeda motor meledak pemakaiannya. Penjualan dengan cara kontan atau kredit ditawarkan di banyak tempat dan menjadi solusi yang terjangkau bagi sebagian besar orang. Di kampung saya, yang hanya sebuah kota kecamatan di Jember, konon sudah menjadi acara rutin hampir setiap hari sepeda motor diturunkan dari truk pengangkutnya ke etalase agen penjualan. Atau dengan kata lain: sepeda motor laris bak kacang goreng. Pada acara Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Jember yang berlangsung bulan lalu sepeda motor juga dijadikan iming-iming “hadiah” yang dijanjikan salah satu kandidat kepada calon pemilihnya. Entah benar atau hanya spekulasi, yang jelas itulah gambaran “kemewahan” politik berbungkus hadiah memenangkan pejabat di daerah.

Di setiap ruas persimpangan di Bandung, barisan terdepan kendaraan setiap kali lampu merah menyala adalah sepeda motor. Karena mereka datang dari segenap celah-celah ruas jalan, sepeda motor memenuhi ujung depan jalan dan meluber ke segala arah. Saya pernah melihat sendiri di salah satu persimpangan di dekat Leuwi Panjang, sepeda motor berdesakan sehingga menutup jalan ke arah kiri yang seharusnya dapat dipakai oleh kendaraan lain untuk jalan terus dan kemudian naik ke beton segitiga besar yang digunakan untuk tempat lamput lalu lintas dan pemakai jalan. Prinsip yang dipakai sederhana: sepeda motor harus berada di depan apapun cara untuk mencapainya.

Begitu juga di persimpangan Simpang Dago yang sering saya lewati karena dekat dengan tempat aktivitas saya sehari-hari: motor yang datang dari arah selatan (bawah) melaju terus ke depan dan tidak sedikit yang menggunakan trotoar. Dari arah Tubagus Ismail ke Pasar Simpang juga tidak berbeda: kemacetan ke arah keluar Tubagus Ismail dan lajur sebaliknya yang sering kosong mengundang pengendara sepeda motor untuk keluar dari marka jalan dan kemudian berjejal di pertigaan Pasar Simpang.

Bagi anda yang bukan penduduk Bandung, saya kira gambaran seperti di atas dengan mudah diperoleh di (hampir) semua kota besar di negara kita. Pengendara sepeda motor yang memang tidak disediakan jalur khusus di negara kita, mempunyai semacam itikad luar biasa untuk mencapai tempat terdepan, menerobos semua celah di jalan raya, dan tetap melaju, apapun kondisi jalan raya. Ini menjadi suatu kredo suci inilah keuntungan menggunakan sepeda motor, suatu “kemewahan” tersendiri sebagai kompensasi terhadap kondisi angkutan umum yang buruk dan resiko kepanasan, kehujanan, dan tentunya faktor keselamatan yang lebih rendah untuk pengendara sepeda motor di jalan raya.

Sekarang pun saya tentu tidak dapat lepas dari motor walaupun bukan menjadi pengendara sendiri. Menggunakan jasa ojek dan dibonceng teman adalah dua hal yang sering saya jalani. Dalam perjalanan dengan sepeda motor itulah terpikir oleh saya: seandainya saya menjadi pengendara sepeda motor, apakah saya sanggup menjadi “eksentrik” dengan tidak mengikuti anggapan bahwa sepeda motor harus maju terus ke depan? Semacam latihan sikap pengendalian diri untuk tidak memaksakan kemauan kita, melainkan lebih baik berada pada tempat atau jalur yang proporsional.

5 Comments

terakhir saya ingat kalau nyetir mobil di Jakarta, dalam posisi antri di lampu merah, saya selalu berusaha untuk memastikan bahwa bemper depan dan belakang berjarak maksimal 30 cm dari mobil lain, dengan sekaligus memastikan ada celah yang lebih dari cukup untuk dilewati sepeda motor disebelah kanan dan kiri mobil. kalau dirasa tidak cukup, salah satu sisi akan “dikorbankan” agar sisi lainnya dapat dengan leluasa dilewati sepeda motor.

Prinsipnya ikut Pak Ali Sadikin. Kalau tidak bisa di”hilang”kan, ya dikontrol saja. Karena hampir tidak mungkin pengendara sepeda motor tidak akan mencoba berbagai macam cara untuk sampai ke depan, daripada mereka mencari cara yang sedikit memaksa yang dapat mengakibatkan terggoresnya badan mobil, atau atau bengkoknya penyangga kaca spion, lebih baik di beri celah yang lebih dari cukup agar dapat dengan leluasa dapat dilalui. Sementara celah di depan dan belakang mobil sengaja dirapatkan, agar dalam sekali lihat, para pengendara motor tidak akan berpikir untuk mencoba memasukkan ujung roda depannya ke celah tersebut. Seringkali goresan di bemper depan dan belakang disebabkan sulitnya membelokkan sepeda motor untuk dapat masuk ke celah itu. Sehingga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya “persinggungan” itu, lebih baik ditiadakan saja kemungkinannnya..

Akhirnya “kemewahan” pengendara sepeda motor itu di”subsidi” oleh stresnya pengendara mobil yang sama-sama pemakai jalan…

tapi gimana ya? sepertinya di tanah air, kalau antri dan ikut aturan, sepertinya untuk sampai ke tempat tujuan bisa makan waktu lebih tiga kali waktu tempuh normal. Saya sempat mencobanya dari Rawamangun ke Depok.. hehe..

Saya sendiri termasuk pengendara motor yang hobi nggeber motor diatas 100Km/jam, kalo lagi macet seninya jadi ada alias main aksi srobot… tapi dosa nggak ya :)

Banyaknya pengendara motor (dan mobil) sering bikin pusing kepala. Harga kendaraan yang makin terjangkau (dengan adanya kredit), SIM yang bisa ditembak dengan mudah, plus bensin yang kental dengan subsidi, memungkinkan setiap orang dengan mudah lalu lalang di jalan.

Barangkali ada hikmahnya juga subsidi BBM nanti dicabut. Paling tidak, sudah cukup mengurangi kesmrawutan jalan raya saat ini.

Saya sempat mencobanya dari Rawamangun ke Depok.. hehe.. saya tinggal di rawamangun lho, jadi ga kalah jengkel dengan motorers, padahal sih saya cuman ngebis ;)) ndak heran jika motor kayak kacang wong sehari keluar 8000 motor dari satu pabrikan di pegangsaan. sebulan satu dealer sanggup menjokul 15ribu motor, ludes laris manis.. anyway disemarang yang dulu kalem sekarang motorers juga beringas..ndak tau nih, kayaknya polisi semarang musti balik angker kayak dulu (brenti di marka jalan? tilaang)

Wah, saya juga sempat mencobanya lho! Rawamangun-Depok, tiap minggu bolak-balik. Sempet kecium bis sekali en beberapa jenis kendaraannya beberapa kali gara-gara cari celah.

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on July 22, 2005 5:51 AM.

Kekusaman dan Kekumuhan was the previous entry in this blog.

Cara Menolak Rencana Anggota Dewan is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261