Jago Kandang

| 1 Comment | No TrackBacks

Salah satu reportase yang saya ingat tentang pelaku bisnis di Indonesia berasal dari majalah bisnis Swa di tahun 1990-an. Di sebuah laporan utama yang saya baca tersebut dipaparkan perilaku banyak konglomerat Indonesia zaman Orde Baru yang mendapat proteksi lewat banyak jalur namun ternyata hanya berjaya di dalam negeri. Mereka tidak bisa berkompetisi di pasar internasional, sehingga jangan berharap memperoleh tambahan devisa lewat ekspor mereka. Lengan gurita yang mereka ciptakan juga lebih condong mencengkeram pasar domestik yang pada giliran berikutnya mematikan kompetisi di dalam negeri.

Sedikit banyak saya terpengaruh dengan deskripsi pada reportase tersebut: pihak-pihak yang selama ini muncul dengan “hebat dan gemerlap” ternyata hanya jago kandang. Kendati pada bagian lain reportase tersebut juga dituliskan bahwa “kandang” bernama Republik Indonesia itu luar biasa besarnya. Pangsa pasar yang digarap pun fantastis dari sisi omset. Kalau tidak salah, dicontohkan perebutan pasar minyak goreng dua merk ternama saat itu baru memenuhi sekitar 10-20% jual-beli di pasar. Sisanya masih dipenuhi minyak goreng tidak bermerk dari berbagai sumber produksi. Bayangkan, dengan persentase yang diperebutkan itu saja para produsen sudah menikmati kehidupan jauh di atas rata-rata, di samping memang secara sosial telah memperkerjakan ribuan buruh di pabrik.

Alhasil, kita memiliki banyak jago kandang dan kandang bernama Indonesia itu luar biasa besar.

Sekarang saya ingin memandang secara realistis, dan ini juga ajakan kepada saudara sekalian: bagaimana jika sudut pandang pengertian jago kandang tersebut kita ubah secara mendasar? Kita tidak hendak melawan Amerika karena seringkali yang saya lihat perlawanan tersebut berubah menjadi kemarahan. Melawan dan menyebarkan amarah merupakan dua hal yang berbeda secara esensial — dan sayangnya kita lebih banyak terjatuh pada pengertian terakhir.

Demikian juga kita tidak usah secara langsung berkompetisi dengan Cina dan India dalam meraih buah relokasi industri (terutama TI) karena ternyata kompetisi dengan dua masyarakat yang sudah lebih siap tersebut berakhir lebih banyak pada mimpi. Coba kalau negeri kita sungguh-sungguh memberantas korupsi seperti Cina; coba jika intelektual kita tersebar di banyak negara maju seperti India — semua itu baru kalimat berandai-andai yang dalam hal ini tidak membantu banyak.

Pun kita tidak perlu iri melihat negeri jiran seperti Malaysia, Thailand, Singapura, yang seperti peribahasa, rumput tetangga terlihat lebih hijau. Hati kita harus cukup lapang melihat pertumbuhan di negeri tetangga dan kondisi yang lebih baik di sana tidak usah dipakai untuk menyalahkan banyak hal yang dianggap payah di tempat kita.

Bagaimana jika para jagoan, jawara, pakar, dan semua hal yang sejauh ini “hanya” terlihat unggul di kandang sendiri itu kita minta memang benar-benar menunjukkan kejawaraannya di dalam kandang? Mereka yang sudah dinobatkan menjadi tokoh tersebut kita minta sekali lagi untuk benar-benar menjadi tokoh. Jikalau mereka terlihat “tidak ada apa-apanya” dibanding jagoan-jagoan serupa di negara lain, tidak usah ribut untuk disalahkan atau dibanding-bandingkan. Saya kira bahkan anak-anak pun tidak suka dibanding-bandingkan dengan teman mainnya — apalagi kompetitornya. Lagipula itu tidak penting dalam suasana egaliter yang ingin kita wujudkan.

Sebagai gantinya: kita minta dengan sungguh-sungguh sebuah kontrak moral bahwa siapapun yang ingin menjadi orang berarti di negeri ini maka yang lebih penting adalah menjalankan fungsi-fungsi jagoannya di dalam kandang itu. Setiap orang harus merasa yakin bahwa pada dirinya terdapat kans untuk menjadi orang yang berarti bagi orang lain atau lingkungannya.

Ah, saya tambah menyadari bahwa pengertian kandang yang diasosiasikan dengan batas teritorial negara, sehingga seolah-olah mereka yang hanya berkutat di dalam negeri disebut jago kandang, sebenarnya sangat menyesatkan. Yang lebih esensial pada persoalan zaman Orde Baru yang dibahas di majalah Swa adalah pihak-pihak tersebut menjadi “jago” lewat jalan proteksi dari penguasa. Siapapun tahu, produk cara ini bukan jagoan, melainkan premanisme.

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/56

1 Comment

untuk soal korupsi, Italia yang merupakan negara maju, membutuhkan waktu kurang lebih 80 tahun untuk memberantas korupsi, sedangkan untuk Indonesia untuk jangka waktu 5 tahun saja para pimpinan di Indonesia lebih memikirkan bagaimana cara mangatasi lawan politiknya daripada untuk memberantas korupsi….:)

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on August 7, 2004 9:06 AM.

Silaturahmi Ekonomi Syariah was the previous entry in this blog.

Stagnasi yang Lama is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261