Budi Rahardjo sedang mencari musuh, dan saya tahu diri karena tidak seimbang menghadapi ilmu kanuragan dia, maka saya tidak akan menantang lewat tulisan ini, melainkan ingin ikut berjalan turun gunung, melu ngangsu kaweruh, dan melintasi aneka padang ilalang. Njajah desa milang kori.
Kabarnya Newton berkirim surat secara berkala dengan Leibniz dan arsip keduanya menjadi salah satu polemik terkenal dalam kalkulus. Einstein juga berkali-kali menulis impian tentang kemanusiaan dalam versi dia, yang antara lain dilayangkan kepada presiden Roosevelt tentang bom atom, dan dengan indahnya, surat yang lain tentang menjadi ilmuwan yang peduli kemanusiaan ditulis untuk mahasiswa Universitas California. Sutan Takdir Alisyahbana yang lebih percaya “sastra untuk sastra” memulai polemik besar di awal perkembangan sastra modern Indonesia menghadapi lawan-lawannya yang berpendapat “sastra untuk rakyat” atau untuk “perjuangan”, atau untuk dinikmati…
Dengan perkataan lain, mereka semua memulai dengan menulis, yang di sekitar kita barangkali sebagian terhenti dengan menulis sesuatu yang berorientasi pendek — sekadar catatan kuliah misalnya, dan mungkin catatan pendek seperti yang saya lakukan ini. Namun berapa banyak di antara orang pintar kita yang rajin menulis? Di sebuah artikel di Republika edisi cetak (saya lupa tanggalnya, karena saya baca secara tidak terencana dalam perjalanan di KRD), pernah ditulis: menjadi sarjana tempo doeloe senantiasa ditanya oleh masyarakat, Sudah menulis buku apa saja?
Sekarang jangankan sebuah buku utuh (saya sendiri belum sanggup juga), mencatatkan impian dari ilmu yang diperoleh saja, sangat langka.
Soal forum dapat di mana saja, tidak usah dibuat secara khusus pun, akan muncul dengan sendiri. Diskusi kernel monolitik (apakah ini termasuk topik impian, Pak Budi?) yang sangat terkenal antara Prof. Tanenbaum dengan Linus Torvald juga berlangsung di newsgroup yang siapa saja dapat ikut. Namun persoalan masa kini adalah tempat-tempat umum seperti itu dipenuhi oleh pedagang asongan Viagra (ini parah!) dan kedua, masih sering sibuk menghadapi anggota yang belum tahu bahwa untuk bertanya pun harus mikir, atau lainnya lagi mereka yang dicap zealot.
Ah, saya jadi menyodorkan sesuatu yang praktis lagi!
Kalau usul saya: Pak Budi terus saja menulis yang aneh-aneh, mimpi yang paling awang-awang, yang imajinatif sekalipun, karena nantinya akan dibaca oleh banyak orang. Masak di antara sekian ribu penulis blog di Indonesia tidak ada satu pun yang bisa ikut gendheng menanggapi keanehan itu? Saya bilang gendheng, karena di negeri kita mereka yang aneh karena meninggalkan projek, tidak peduli nilai kredit pegawai negeri, dan malah menulis (apalagi blog!) sering disebut sebagai gendheng — nggak ada duitnya gitu kok diurus.
Mari kita menulis mimpi, imajinasi, angan-angan lewat blog. Seperti Newton dan Leibniz, tulisan yang dipasang di sini dan di sana dapat saling beradu dan dapat dinikmati banyak orang.
Tinggal mencari lawan yang cocok menghadapi Pendekar Budi Rahardjo. Siapa itu? Yang jelas, bukan saya!
duh, kok kita ngebahas hal yang sama ya pak? hahaha, sama2 concern dengan kondisi yang sama rupanya =)
komentar lagi -> bahkan konsep RTFM pun kita tulis juga =P. bener nih, menghadapi masalah yang sama…
Sama Mr. GBT itu…. kalo saya mending komentar ringan aja. Cari ‘amannya’ … Tapi saya pernah baca tentang kegiatan Pak Budi mencari-cari MP3 lagu lama..(lupa link-nya). Apakah tokoh sekelas Pak Budi tidak bisa kena resiko ‘dicap pembajak’ ? hehehe…. semoga Pak Budi tidak baca glk…..
Apa yang dimaksud melakukan konversi ke MP3? Soalnya itu yang saya dapatkan dari mencari artikel tentang MP3 di blog gbt.blogspot.com.
Avianto, benar-benar kebetulan yang mengasyikkan! Saya menulis respon di atas begitu saja setelah membaca ada entri baru di gbt.blogspot. :)