Proposal: Pembakuan Pengodean Nama Kota (Pengelolaan Pengodean)

| 2 Comments | No TrackBacks

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari Bagian I (Latar Belakang).

Pada bagian ini akan dibahas sisi pengelolaan pengodean, sekaligus menindaklanjuti umpan balik lewat komentar, dari I G.M.A. Apriantara, Mohammad Syafiuddin, dan Jaim. Selain itu lewat email, kepada Betha Sidik, salah seorang teman pengembang aplikasi dan perancang basisdata di Bandung, saya menjelaskan perihal proposal ini dan memperoleh serangkaian pertanyaan.

Pengelolaan sumber daya

Karena yang akan disusun adalah kode terhadap sebuah entitas yang aktual ada di lapangan, yakni nama kota, dan hal ini berkembang, maka perlu ditetapkan sebuah kondisi yang menjadi rujukan pekerjaan ini. Batasan yang diusulkan sebagai berikut:

  1. Pendefinisian penyebutan sebuah daerah sebagai kota, penamaan kota, dan kaitannya terhadap entitas lain (misalnya terhadap propinsi) bukan merupakan tanggung jawab projek ini, dan diserahkan kepada badan berwenang lain yang secara formal-administratif mengelola.
    Dalam hal ini saya mengusulkan daftar yang disusun Departemen Dalam Negeri karena mereka yang merumuskan pengertian kota, perubahan status, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan administrasi kota di wilayah RI.
    Konsekuensinya, perubahan yang terjadi, misalnya perubahan nama kota seperti Ujung Pandang menjadi Makassar, pemekaran wilayah, dan perubahan nama propinsi (apabila nanti dikaitkan dengan tabel relasi terhadap propinsi), semua mengacu terhadap kondisi yang ditetapkan oleh lembaga yang bersangkutan.
  2. Di sisi lain, tanggung jawab pengolahan data, meliputi perolehan, pelaksanaan pengodean, entri data, modifikasi data, dan penyediaan hasil untuk publik, dilakukan oleh pelaksana kegiatan pembakuan ini. Karena bersifat independen, maka aktivitas yang dilakukan oleh pekerjaan ini tidak harus atau tidak perlu menunggu rumusan atau aktivitas serupa yang dikelola instansi lain yang sudah berjalan. Sedangkan dari sisi komunitas, karena tujuan utama pekerjaan ini adalah melayani publik, maka usaha-usaha yang dilakukan adalah sedapat mungkin menyediakan cara yang mudah bagi siapapun, terutama pengembang perangkat lunak yang memerlukan pengodean ini, untuk mengakses hasil pekerjaan ini.
  3. Dengan tujuan dipersiapkan untuk jangka panjang dan menghindari kesulitan yang mungkin terjadi dengan perubahan, pengodean yang dilakukan harus cukup “tahan lama” terhadap perubahan aktual di lapangan. Kondisi yang lebih mungkin terjadi adalah penambahan nama kota baru dan perubahan relasi terhadap propinsi. Terhadap hal tersebut, pengodean dan penyediaan sumber daya, misalnya dalam bentuk statemen SQL, harus cukup aman untuk tidak menimpa (override) data lama yang telah terpasang di basisdata pemakai.

Penjelasan tentang pendefinisian penyebutan

Saya memilih penyebutan nama kota mengikuti resmi yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri, selain karena memang mereka yang berwenang menetapkan hal tersebut, alasan lainnya adalah untuk menghindari konflik penyebutan berdasarkan (banyak) rujukan lain. Misalnya: Yogyakarta atau Jogjakarta, Solo atau Surakarta, Ujung Pandang atau Makassar. Selain itu, penyebutan formal yang dibuat oleh badan berwenang menurut saya secara hukum kuat untuk diikuti.

Kepentingan lain adalah dalam hal memberi batasan hasil pekerjaan yang disediakan. Para pemakai hasil pembakuan ini dapat menyusun ekstensibilitas atau pengecualian tersendiri yang spesifik terhadap aplikasi; misalnya mereka perlu menambahkan nama daerah lain yang untuk keperluan mereka dianggap sebagai kota, atau perlu menggunakan nama lain (alias). Alhasil, sekalipun misalnya kode yang ditetapkan untuk Yogyakarta adalah YGY, pengembang tetap dipersilakan memakai kode tersebut untuk tabel alias milik aplikasi, misalnya disebutkan sebagai Jogjakarta. Pekerjaan ini tidak menyediakan variasi alias untuk penamaan kota. Termasuk dalam hal lain, tegas (strict) terhadap pemakaian spasi: Pangkal Pinang atau Pangkalpinang? (Apakah suatu saat terdapat kasus nama kota “case sensitive”, seperti dalam bahasa pemrograman C?)

Penjelasan tentang tanggung jawab perolehan data

Data diperoleh dalam bentuk yang disediakan lembaga berwenang yang dimaksud, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Sampai saat ini saya belum tahu jalur resmi untuk mendapatkan data lengkap tersebut, namun menurut saya seharusnya terekspos untuk publik. Kemungkinan instansi lain yang dapat dijadikan nara sumber adalah Biro Pusat Statistik, yang tentunya terdapat koordinasi di antara kedua belah pihak dalam pendefinisian kota dan penamaannya.

Dengan inisiatif positif pekerjaan ini seharusnya tidak menjadi masalah bagi instansi berwenang menyediakan data yang diperlukan. Karena pembakuan ini juga bukan usaha profit, sepatutnya pula perolehan data tersebut tidak dikenakan ongkos apapun. Langkah yang paling realistis menurut saya adalah disiapkan terlebih dahulu repositori dan aplikasi pengolahnya untuk pekerjaan ini, setelah itu kita dapat meminta dengan resmi daftar nama kota tersebut dari instansi yang disebut di atas. Jika sudah tersedia dan dapat diakses via Internet, tentu tinggal memakainya.

Pekerjaan yang perlu dilakukan adalah entri data yang nantinya diperoleh, baik konversi antarformat digital atau mengetikkan ulang seandainya daftar tersebut tersedia dalam bentuk cetak. Keduanya memerlukan usaha. Saya sangat berharap bahwa kita yang punya semangat untuk meralisasikan rencana ini dapat berkontribusi pada pekerjaan awal ini. Agar langkah pekerjaan ini realistis, untuk bagian pertama rencana ini dibatasi sampai dengan 440 buah kota Daerah Tingkat II. Saya kira jumlah sebesar itu masih tertangani untuk dikelola secara keroyokan, dan tidak menutup kemungkinan pada fase selanjutnya, keinginan yang ditulis Apriantara, desa berjumlah 50 ribu, dapat dilanjutkan.

Pada kasus terburuk data yang diperlukan di atas tidak tersedia, alternatif lain adalah memperoleh dari instansi lain yang kemungkinan memublikasikan data yang mereka miliki. Apabila hal ini masih sulit juga diperoleh, maka, seperti ditanyakan Betha dan diusulkan oleh Syaifuddin, dilakukan inventarisasi sendiri dan hasilnya dicocokkan dengan penamaan resmi Departemen Dalam Negeri.

Secara pribadi, saya berharap perolehan data tidak akan sesulit kondisi terburuk tersebut.

Seperti telah disebut pada pengantar entri (2), pelaksanaan pengodean bersifat independen, sehingga bebas kita susun sendiri. Sekaligus hal ini menjawab pertanyaan Betha lewat email. Sebagai rujukan, sejauh ini kode yang telah tersedia,

  1. Kode PT Telkom, a.l. tertulis di buku telepon. Seingat saya bervariasi dua atau tiga huruf (tolong dikoreksi apabila salah).
  2. Kode PT KAI yang tertulis pada tiket kereta api. Kode ini sangat terbatas pada kota-kota yang menjadi daerah operasi kereta api.
  3. Kode yang digunakan oleh PT Angkasa Pura, seperti yang disebut oleh Jaim. Seperti halnya PT KAI, kode ini terbatas pada kota yang dilayani oleh Angkasa Pura (tolong dikoreksi apabila salah).
  4. Kode yang digunakan oleh Idnic untuk domain sch.id, terdiri atas tiga huruf dan terdiri atas 896 nama daerah sampai dengan kecamatan. Sejauh ini, kode yang disediakan Idnic merupakan versi online yang paling lengkap.

Menurut saya mungkin saja mengadopsi kode yang sudah tersedia sepanjang diizinkan oleh pemiliknya. Pekerjaan yang tetap masih diperlukan adalah memilah data tersebut berdasarkan kriteria yang digunakan (misalnya pembatasan bahwa untuk fase pertama ini sampai dengan Daerah Tingkat II). Setelah itu perlu disusun penyediaan kode dan nama kota tersebut dalam bahasa yang mudah diterima pengembang perangkat lunak.

Tentang penyediaan informasi kode dan nama kota ini, saya mengusulkan dua cara,

  1. Antarmuka berbasis Web untuk keperluan praktis perolehan informasi dalam jumlah sedikit. Misalnya pengunjung ingin melihat kode kota tertentu, maka dapat dilakukan lewat Web.
    Kemungkinan lain yang bersifat tambahan lewat cara ini adalah penyusunan query ke basisdata menggunakan halaman Web. Masukan yang diberikan oleh pengunjung adalah nama propinsi atau sejumlah nama kota, dan hasilnya berupa bahasa standar yang dapat digunakan oleh pengembang. Jadi seorang pengembang yang ingin memperoleh hanya nama kota dan kodenya di sebuah propinsi misalnya, dapat dibantu dengan cara ini.
  2. Tersedia sebuah berkas lengkap dalam bahasa baku pemrograman. Saya mengusulkan dua format: SQL standar yang banyak digunakan di lingkungan basisdata dan XML yang mudah dioperasikan antaraplikasi.
    Kemungkinan lebih jauh untuk langkah berikutnya adalah menyediakan pengambilan data lewat XML-RPC misalnya.

Varian-varian yang dapat disusun lebih spesifik terhadap platform, seperti penyusunan API, merupakan ekstensi pekerjaan ini dan sangat dimungkinkan apabila terdapat pengelola masing-masing.

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/49

2 Comments

Baru kemarin seorang teman terlibat dalam project : IGASIS - Inter-Governmental Access Shared Information System. Disitu membuat Gudang data antara 3 dept : BPS - Deptan - BKKBN. Yang pasti ketiga departemen itu tidak mempunya standard kode yang sama untuk nama daerah (propinsi .sd kelurahan)

Menurut teman saya itu, diantara ketiga departemen yg pengkodeannya bagus BPS, tapi dari sisi kelengkapan data berdasarkan pemekaran wilayah BKKBN lah yg Ok, datanya sampai RT dan nama kepala keluarga.

Cuman sayang project itu masih dalam tahap prototype, dan rencananya baru akhir thn ini di realisasikannya.

Nanti saya coba kontak teman saya apakah saya bisa dapet data nya :)

Yudha: terima kasih atas informasi saudara.

Saya akan melanjutkan ke bagian berikutnya, pengodean, namun sambil diselingi kesibukan lainnya. :)

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on May 8, 2004 8:45 AM.

Proposal: Pembakuan Pengodean Nama Kota (Latar Belakang) was the previous entry in this blog.

Pelajaran dari Mena: Lisensi is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261