Sebenarnya, siapa Al Qaeda?
Jika benar nama ini cuma “olok-olok” karena sedemikian hebatnya jaringan mereka sehingga dapat dijadikan musuh bersama pihak Barat, saya tidak akan ambil pusing. Paling jauh hanya akan saya anggap tidak lebih dari tokoh megalomania di dalam cerita fiksi agen rahasia, musuh Rambo di Hollywood, atau sejumlah teori kecemasan yang disebar Gedung Putih. Itu tidak terlalu penting untuk diurus, karena mereka punya pundi-pundi banyak, jadi seharusnya dengan modal itu mereka dapat memperbaiki pikiran mereka seandainya tidak waras.
Namun bagaimana seandainya para pejuang Al Qaeda itu benar-benar sebagian dari kaum Muslimin? (Pengertian “para pejuang” itu dapat diganti dengan istilah lain, tergantung pihak yang memandang) Apakah kita — atau setidaknya saya sebagai seorang muslim — cukup menggunakan penjelasan seperti yang disampaikan Salim Said, pengamat militer dan politik Indonesia, ditayangkan di stasiun televisi Nederland 2, program Netwerk, tanggal 1 April lalu, bahwa mereka itulah alumni “universitas terbuka” yang dibuat oleh Amerika di Afghanistan pada saat Uni Soviet bercokol di sana. Saya setuju dengan pendapat Salim yang berhati-hati menjawab pertanyaan wartawan Belanda tentang demonstrasi di depan kedutaan besar AS di Jakarta dengan sebagian besar pengunjuk rasa terlihat membawa atribut Islam. Namun saya juga jadi teringat balik suasana di sekitar tahun 1990 saat banyak aktivis muda Islam di Bandung ikut gandrung dengan berita perang di Afghanistan.
Umat Islam memerlukan sebuah pijakan yang kuat untuk hidup di masa sekarang dan itu tidak bisa dihasilkan dengan amuk di tempat umum, pernyataan penuh amarah dan balas dendam di media massa, dan tindak-tanduk yang sebenarnya malah menjauhkan umat dengan ajaran Islam itu sendiri. Saya tidak mengesampingkan sebagian penjelasan bahwa akar kekerasan secara tidak langsung datang dari dunia modern yang antara lain sebagai respons terhadap krisis spiritual, seperti ditulis oleh Karen Armstrong. Dan kita tahu bahwa untuk saat ini cap “dunia modern” ditimpakan terhadap Barat yang memegang hegemoni sumber daya fisik. Sebagai tulisan introspektif, tentu saja pandangan seperti itu positif untuk diperhatikan. Pertanyaan dan ajakan yang juga tidak kalah penting adalah: apakah kita sendiri, kaum Muslimin, tidak berkaca, merenung, dan memikirkan resiko-resiko lebih jauh dari aksi-aksi “garis keras”?
Beberapa pandangan yang saya baca akhirnya berkesimpulan bahwa penyerangan di tempat-tempat publik sebenarnya bukan isu agama lagi, karena disadari bahwa ajaran agama yang sesungguhnya tidak membenarkan tindakan seperti itu. Dengan kata lain, seandainya disebut diri mereka atau golongannya berafiliasi dengan sebuah agama, penyebutan seperti itu dapat menjadi lancung. Diskusi tentang tindak-tanduk tidak terpuji itu pun perlu berhati-hati: apakah yang dibicarakan perbuatan sekelompok orang atau merembet menjadi tuduhan kepada ajaran agama?
Sekalipun seharusnya kedua hal di atas tidak terpisahkan, karena dengan mengaku sebagai Muslim, berlaku ketetapan padanya untuk berakhlak sesuai ajaran Islam. Apakah dengan demikian berlaku pertanyaan berikutnya: Islam atau Muslim yang mana?
Seperti tidak habis-habis usia manusia untuk pertanyaan yang berpusing-pusing, apalagi disertai pembelaan terhadap golongan. Saya tidak akan mengikuti pusar-pusaran pertanyaan seperti itu. Saya hanya meyakini bahwa barangkali saat ini apabila pihak yang membawa-bawa simbol kebenaran itu tidak dapat menyandarkan diri pada nilai-nilai kebenaran itu sendiri (atau istilah yang lebih pas, “tidak dapat memasrahkan diri lewat ajaran-Nya”), maka Allah sendiri yang akan turun tangan.
Ia sendiri yang membisikkan kebenaran yang sejati. Karena hati manusia adalah barang lembut yang sedemikian keras sehingga satu kota luluh-lantak pun belum tentu dapat menuntunnya ke arah yang benar.
Mengenai kasus di afghan. Informasi media massa ( baik dari barat maupun timur) mendorong saya untuk menyimpulkan bahwa kasus afghan baru2 ini sebenarnya adalah kasus antar golongan… (dgn sedikit campur tangan pihak luar)
Saya menyayangkan sikap sebagian masyarakat muslim di Indonesia tidak bisa mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Sebagian kawan2 saya juga langsung melontarkan reaksi/demo tanpa pikir panjang.
Saya lebih senang untuk duduk diam dan mengamati. Sebab saya yakin informasi yang sampai kepada kita, tidak dapat terjamin kebenarannya. Sebagai pihak luar saya tidak mau memihak sebab saya yakin yang bertikai disana adalah sodara-sodara saya sesama muslim.
Kita sebagai bangsa Indonesia tidak berhak untuk mencampurinya, tapi yang harus jadi kepedulian kita adalah kecaman terhadap perang. Perang sebagai suatu entitas yang harus dimusuhi. Sebagai seorang muslim, saya hanya bisa mendoakan sodara2 sesama muslim yang sedang bertikai untuk menghentikan pertikaiannya…. juga untuk semua umat manusia….