Kenapa kita masih harus omong tentang Pemilu, kampanye yang sedang
berlangsung, partai, dan segala hal-hal yang tampaknya lebih banyak
ributnya ketimbang hasil berupa perubahan yang terlihat? Jauh-jauh
hari sebelum masa kampanye berlangsung saya sudah beberapa kali
membaca ajakan penuh gairah lewat mailing-list agar memilih
partai nomor tertentu untuk sebuah perubahan negeri kita yang
diidamkan. Salah seorang peserta mailing-list yang
barangkali merasa terganggu menyindir pedas, Saya kok
miris ya, manusia didorong-dorong memilih ‘selain manusia’.
Tanpa pretensi untuk condong pada salah satu pihak, saya hanya
menukas, Berilah kesempatan kepada para penjual konsep menjajakan
dagangannya, sekalipun sampai batas tertentu pekak juga telinga saya
seperti mendengar calo rebutan penumpang.
Coba saja datang ke
terminal bis, sekalipun sudah ditulis tujuan perjalanan di atas
papan dalam ukuran yang terbaca jelas, tetap saja calon penumpang
dianggap kambing congek bodoh yang diteriaki dan
ditarik-tarik ke sana ke mari.
Saya pernah mencoba menjadi penjaja buku pendidikan anak-anak lewat jalur MLM dan mendapatkan pengalaman berharga bahwa saya sulit meyakinkan calon pembeli. Kendala utamanya adalah pandangan saya sendiri bahwa barang dagangan tersebut bukan satu-satunya cara untuk mendidik anak agar maju. Jadi bagaimana calon pembeli dapat tertarik apabila saya tidak dapat meyakinkan dengan bahasa yang mantap? Hal itu pula antara lain yang menyulitkan saya untuk menyatakan sikap terhadap partai pilihan secara terbuka. Alih-alih berkampanye, menyatakan dengan tegas bahwa saya mendukung sebuah partai pun masih terasa ada ganjalan.
Belum lagi apabila diingat beberapa kali saya dikecewakan oleh perubahan yang dramatis dan kondisi yang tidak dapat saya jadikan pegangan…
Namun mengatakan bahwa semua riuh-rendah acara yang mendapat julukan “pesta demokrasi” ini hanya omong kosong juga tidak saya setujui. Menihilkan peran partai atau beranggapan bahwa aspirasi seseorang tidak dapat diwakili oleh partai manapun, menurut saya juga kurang bijaksana. Kita hidup bermasyarakat, tentu tidak bisa memaksakan sebuah organisasi benar-benar 100% sesuai pandangan kita. Dengan memilih berorganisasi, semua anggota atau simpatisan yang berharap pandangannya diangkat, tetap harus siap dengan kompromi sampai pada titik yang dianggap dapat diterima. Kedua, sebagai sebuah alternatif terhadap perbaikan kondisi negeri kita lewat jalur politik, kenapa belum apa-apa sudah dijauhi atau dianggap nonsens?
Alhasil, sedikit rilekslah mempromosikan partai favorit, dan sebaliknya, tidak perlu menuding-nuding bahwa semua ini hanya nonsens. Seperti peralatan lain yang digunakan untuk mempermudah pemakainya melangkah ke tujuan yang lebih jauh, demikianlah parta-partai terbut harus dilihat. Barangkali perbaikan di negeri kita tidak lewat partai, hanya saja tidak perlu menutup mata seandainya terdapat partai yang meletakkan persoalan tersebut sebagai prioritas. Kita buktikan janji dan komitmen mereka di lapangan.
Bagi saya, kampanye penting yang tetap bisa dilakukan hari-hari ini (dan sebenarnya bagian dari aktivitas yang terus-menerus) adalah mengingatkan bangsa kita, tanpa peduli orientasi kepartaian yang dipilih, akan pendidikan berpolitik yang sehat. Mengembalikan pemahaman berkompetisi yang fair, mengelola negara yang amanah, dan mengurangi sikap terlalu berlebihan dalam membela partai. Berpolitik yang sehat tentu didasari akal yang waras, bukan sekadar tradisi atau pendekatan emosional.
kita boleh tidak percaya partai ataupun sistem pemilu (seperti saya sendiri tidak percaya dengan sistem yang memperbolehkan tertuduh kasus korupsi jadi calon presiden). Itu adalah pilihan kita.
tapi menihilkan sistem tersebut berarti membutakan mata sendiri. sistem itu ada dan sedang berjalan. arahnya ke atas atau kebawah masih membutuhkan waktu untuk menjawabnya.
kenapa harus ber’argumen’ sesama bangsa indonesia hanya karena masalah berbeda partai? saya selalu percaya bahwa menjadi orang indonesia saja sudah merupakan satu cara untuk berpartisipasi dalam membangun indonesia. caranya? masing2 punya cara sendiri2… tidak ikut pemilu? bukan berarti tidak ‘membangun’ indonesia.. mungkin saja dia punya cara sendiri yang lebih valid. tidak percaya partai? silakan, tapi tolong buktikan kalau anda benar2 mau membangun negara….
cuma itu yang kita butuhkan sekarang… kesadaran akan kewajiban jadi orang Indonesia… sudah saatnya kita bangun dari mimpi2 semu…
DICARI: Optimisme dan Harga Diri Orang Indonesia…
sori kalo panjang ya… =) soalnya banyak unek2 di kepala soal ini
Mudah-mudahan saya tidak dituduh sebagai “salesman” KPU dan punya misi mendorong-dorong orang agar datang ke bilik Pemilu. :)
Yang lebih saya tekankan adalah sikap yang moderat dan tidak membabi-buta (atau “membanteng-buta”? he… he…). Saya tetap optimis Indonesia dapat lebih baik, setidaknya saya merasa senang masih banyak hal baik yang dapat kita kerjakan di tanah air — apapun keahlian kita.
kenapa masih ada ganjalan mendukung dengan tegas sebuah partai ? laiknya kasus penjual MLM, benar sekali jika seorang penjual akan merasa kurang bisa meyakinkan pembeli tentang barang dagangannya karena apapun yang dia jual tentu saja selamanya itu bukanlah satu-satunya cara untuk mendidik anak agar maju, namun memang di sinilah letak mempromosikan barang tersebut. It’s mean “barang tidak dipromosikan jika dia adalah satu2nya cara ..”, tapi karena banyaknya faktor lain yang mesti diutamakan, “..memang bukan satu2nya cara, tapi setidaknya untuk kondisi saat ini bla.. bla.. bla … “(waah ga dilanjutin deh ntar dikira jurkam ;)) “DAR’UL MAFASID AFDLOLU MIN JALBIL MASHOLIH = Melenyapkan segala yang merusak lebih diutamakan daripada menanamkan perbaikan.” Masalahnya sekarang kita tidak lagi bisa menutup mata jika Negara kita adalah negara dengan tingkat korupsi yang luar biasa besarnya. DI lain pihak masyarakat kita sebagian besar adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, di mana kebanyakan dari mereka masih senang mengikuti tradisi ‘ikut2an’ dan yang jelas ga akan menjual kalau kita mesti jelaskan soal korupsi panjang lebar ke masyarakat kalangan ini. Inilah yang dimanfaatkan oleh jurkam, jika mereka akhirnya tarik menarik sana-sini. Yang demikian jelas beda kasusnya dengan calo yang rebutan penumpang meski terpampang nama jurusan di sebuah papan. karena dalam mekanisme pemilu kita, suara seorang pemabuk tetaplah sama dengan suara seorang profesor. Yaahh mau gimana lagi? Berusaha mencari pendukung untuk melenyapkan kebatilan masih tetap lebih baik daripada sekedar mengobral janji2 palsu tentang pembangunan ;)
//barusan gagal dikirim lagi krn tidak mencantumkan email :(