Seorang teman di Bandung yang sering bepergian ke Jakarta mengeluh: mengapa loket penjualan karcis kereta api Bandung-Jakarta dan sebaliknya selalu hanya dibuka satu jam sebelum pemberangkatan dengan antrian yang sedemikian panjang? Seharusnya memang pertanyaan ini disampaikan kepada PT Kereta Api dan dijawab langsung oleh pengambil keputusan di sana. Yang menarik bagi saya dan dibicarakan dengan teman tersebut adalah kemungkinan-kemungkinan yang kami sangka dan sedikit analisis “bagaimana-jika” (what-if analysis). Ditambah sedikit rujukan yang saya ketahui dari stasiun di negara lain.
Saya menggunakan perbandingan dengan mekanisme reservasi tiket kereta api di Belanda, atau lebih spesifik lagi di Groningen, tempat saya tinggal sekarang ini. Jangan menyebut dulu bahwa perbandingan tersebut tidak berimbang, dengan alasan perkeretaapian Belanda dianggap lebih maju misalnya, karena fokus yang saya lihat hanya terbatas pada persoalan penyediaan karcis kereta dan tempat duduk untuk penumpang. Penumpang kereta api jarak pendek seperti Bandung-Jakarta menurut saya lebih mementingkan kepraktisan dan keandalan sistem dibanding kenyamanan dan kemewahan layanan. Tujuan mereka adalah sesingkat mungkin dapat mencapai jantung ibukota atau sebaliknya, sesegera mungkin sampai di rumah di Bandung.
Dugaan paling utama tentang loket yang dibuka satu jam sebelum kereta berangkat adalah upaya untuk menghindari pembelian oleh calo — atau lebih umum, suatu pihak yang memborong karcis dalam jumlah banyak dan menjualnya lagi dengan harga lebih mahal. Praktik layanan yang disebut calo ini menjadi hidup karena adanya penomoran pada kursi kereta. Dengan kata lain, apabila loket dibuka pada waktu yang lebih awal, maka dikhawatirkan karcis yang bernomor tempat duduk akan habis lebih dulu diborong calo. Alhasil penumpang yang membeli langsung lewat loket stasiun hanya mendapatkan karcis tanpa tempat duduk.
Untuk menghindari pemborongan karcis bernomor tempat duduk tersebut, kenapa tidak sekalian saja diberlakukan semua karcis tanpa nomor tempat duduk? Dengan demikian, sekalipun ada pihak yang memborong karcis tersebut dalam jumlah besar dengan motif seperti di atas, maka barang yang dia jual tersebut tidak memiliki nilai lebih apapun dibanding dengan yang dapat dibeli langsung di loket. Konsekuensinya, PT Kereta Api tidak perlu membatasi jumlah karcis yang terjual. Karena loket buka lebih lama (jika perlu ditambahi mesin penjual karcis otomatis), maka jasa yang masih bisa ditawarkan oleh mereka yang disebut calo tersebut bukan dalam hal berebut terhadap waktu beli, melainkan dalam hal membantu pembeli yang memang menginginkan kepraktisan tanpa harus mendatangi loket. Misalnya untuk rombongan atau reservasi urusan dinas, jasa para calo tersebut masih laku karena karcis diantar sampai ke pemesan. Secara tidak langsung, kita ikut membantu “mendidik” calo tersebut untuk berbisnis dengan cara yang lebih baik, tidak kasak-kusuk terhadap faktor waktu pemesanan.
Lantas bagaimana halnya dengan karcis yang dijual dalam jumlah besar tersebut? Karena setiap calon penumpang bebas membeli karcis kapan saja, tentunya kemungkinan penumpang membeli karcis untuk pergi pada jam tertentu akan melimpah juga. Apalagi jika diingat Senin pagi setelah subuh adalah jam dengan penumpang berjubel pada kereta api jalur Bandung-Jakarta. Pertama, pada jam-jam tertentu memang sulit sekali dihindari kereta akan penuh sesak. Saya lihat dengan diatur seperti apapun, kereta api Groningen-Schiphol pada jam-jam tertentu yang berkaitan dengan keberangkatan atau kedatangan pesawat terbang, penumpang kereta demikian banyak sehingga beberapa orang akhirnya tidak kebagian tempat duduk sepanjang perjalanan (227 km, 2 jam 27 menit).
Yang dapat dilakukan perusahaan kereta api adalah memberi pilihan kepada penumpang: tetap mau berdesakan di dalam kereta atau menunggu jadwal berikutnya. Dengan kata lain, penumpang tidak dipacu untuk harus ikut kereta pada jam tersebut hanya karena pada karcis tertulis untuk perjalanan pada jam tersebut. Artinya, masa berlaku karcis kereta perlu dibebaskan tidak hanya untuk jam keberangkatan tertentu. Sebagai contoh, tiket kereta api di Belanda berlaku untuk periode satu hari. Dengan demikian hendak berangkat pada jam berapapun asal pada hari yang sama, karcis tersebut dapat digunakan. Dengan cara ini, maka calon penumpang yang tertinggal kereta atau keberatan berdesak-desakan masih memiliki kesempatan untuk ikut pada jadwal berikutnya, tanpa harus kehilangan ongkos yang digunakan untuk membeli karcis tersebut.
Mekanisme di atas menurut hemat saya masih layak dilakukan untuk perjalanan dengan kereta api pada jarak pendek dan padat penumpang seperti Jakarta-Bandung dan sebaliknya. Sudah barang tentu agar lebih bagus lagi hasilnya, masih perlu dipikirkan jumlah gerbong yang disiapkan, frekuensi pemberangkatan, personil yang menangani perjalanan, dan tidak kalah penting: sikap penumpang kereta api itu sendiri. Paparan yang dikemukakan di atas hanya membicarakan salah satu faktor yang esensial sebelum kereta api berangkat, yakni penjualan karcis di loket.
Catatan: penyebutan istilah calo pada tulisan di atas hanya diartikan sebagai, “pihak yang menjual jasa memesankan karcis”. Tidak dilengkapi atribut atau penilaian tertentu. Dengan pengertian itu, biro jasa perjalanan yang berfungsi serupa juga masuk kategori tersebut.
tapi dengan sistem itu maka para pegawai tidak akan mendapatkan ‘jatah’ atau ‘komisi’ dari penjualan tiket melalui calo (sesuai dengan definisi diatas)…
bukannya apatis, tapi kenyataannya memang seperti itu… mental ‘komisi’ masih kuat di kalangan pegawai republik indonesia tercinta sehingga jika ada perubahan sistem yang memungkinkan mereka kehilangan ‘komisi’ maka sedapat mungkin perubahan tersebut tidak dijalankan.
haha, komisi… benar sekali. Spertinya hal itu sudah sangat mendarah daging, mungkin melebihi Pancasila.
Sudah beberapa kali hal itu (soal komisi), menjadi hal yang menjadikan apa yang sudah direncanakan menjadi begitu tidak mengenakkan.
Sedih memang, tapi… begitulah…
Dibilang apatis, barangkali bukan. Namun kenyatannya memang masih perlu usaha keras untuk mengubah banyak sikap di lingkungan kita.
Saya sendiri tidak ingin menuduh siapapun, akan tetapi masih berlaku pemeo umum:
Sepahit apapun, kita tetap harus menyuarakan gagasan yang punya kans lebih baik.