Dengan berputar-putar pada sisi yang lain dan jenaka, Emha Ainun Nadjib mengajak bersyukur, Matahari Islam Berpendar-pendar [dimuat di Gatra 13 Desember 2002, salinan]. Nikmat Allah yang mana yang masih engkau dustakan?
Saya baca komentar Ikranagara di mailing-list Asah, yang menyebutkan bahwa tulisan semacam itu hanya ditulis oleh orang yang sedang fly. Agak mbeling memang, anggapan yang selama ini disebut sebagai kemunduran dapat dilihat dari sisi lain dan menjadi kemajuan. Keduanya saya tulis dengan huruf miring karena sangat relatif terhadap sudut pandang penulis atau pembaca. Seandainya Emha menulis dalam bentuk fatamorgana kemenangan Islam semacam propaganda, jelas-jelas akan ditolak pembaca dan paling banter dalam istilah yang pernah dikemukakan WS. Rendra, “sastra leflet.”
Namun karena intinya mengajak umat Islam untuk terus bersyukur, tulisan itu bisa menjadi kontemplatif. Itu sama edannya dengan gagasan lain Emha untuk mengubur takhayul bernama sukses. Manifestasi usaha dan pekerjaan dalam gambaran konvensional adalah sukses. Buku-buku manajemen dan pengembangan motivasi selalu berujung pada titik yang disebut berhasil. Tentu saja tidak salah total, karena harapan paling sederhana dari “untuk apa saya berusaha” adalah sukses. Roda pedati yang sedang berada di bawah pun, dihibur oleh ninik-mamak kita bahwa suatu saat akan berputar dan berganti di atas.
Celakanya, roda itu seret, sampai akhir hayat. Mekanisme sosial tidak memungkinkan keadilan sesederhana roda pedati, dan banyak orang menunggu letih roda itu bergerak. Mereka yang sudah terlalu lemah melakukan eskapisme diam-diam dan sisanya yang terlanjur marah berbuat anarkis. Rasa syukur pupus dan banyak orang dicekam ketidaksuksesan.
Jika kisah tukang sepatu yang tidak jadi berangkat ke Mekkah karena duitnya digunakan untuk keperluan lain namun ternyata dialah yang berhaji dengan ketidakberangkatannya, adalah sosok kearifan sosial dalam Islam, baik juga disadari bahwa cerita itu tidak berkelanjutan. Kita tidak tahu apakah sepanjang hayat beliau menjadi tukang sepatu atau beralih menjadi saudagar besar. Secara implisit, bagi saya pribadi, hal itu menggambarkan masa depan tukang sepatu itu tidak terlalu penting. Jauh lebih penting lagi masa mendatang, pada alam yang lain.
Barangkali saya terpeleset menggunakan kata sukses, karena pengertian yang sering saya terima adalah sukses duniawi, yang memang lebih kasat mata namun seringkali tidak sejati. Namun sebagai suatu keadaan (state), Tuhan memberikan, bukan menerima dari kita. Yang diminta dari kita tetap sikap bersyukur. Alhasil, terserah Tuhan saja, kita mau diberi sukses atau tidak; yang paling pokok dan tidak boleh berhenti adalah syukur kita atas nikmat yang tidak boleh didustakan.