Fatwa Produk Rekaman Bajakan

| No TrackBacks

Menurut berita di Republika Online pada hari Senin, 17 Februari 2003, MUI mengeluarkan fatwa bahwa, “produk rekaman bajakan itu haram.” Dengan alasan banyak pihak dirugikan dan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, MUI menghimbau umat Islam untuk tidak membeli produk bajakan.

Hak cipta, proses pembajakan, dan daya beli yang rendah. Tiga hal ini sering menjadi diskusi kusut di negara kita dalam menyikapi barang dagangan non-fisik berupa produk intelektual. Jika sekarang MUI sudah mulai memikirkan hal itu, yang sudah barang tentu merupakan sebuah keniscayaan, tentunya sudah lebih dekat lagi kepada pemikiran serupa perihal buku digital dan pengarangnya, produk multimedia dan pekerja seninya, serta perangkat lunak dan pemrogram di belakangnya. Atau, kalau mau dibuat istilah yang bombastis, MUI sudah mulai masuk ke daerah digital, sebuah ladang industri baru dengan hitung-hitungan produksi berbeda dengan sebelumnya.

Industri reproduksi kaset untuk musik misalnya, setelah Indonesia menerapkan aturan resmi penghargaan terhadap lisensi pada akhir 1980-an, praktis perubahan dari “kaset bajakan” menjadi “kaset legal” saat itu relatif berjalan mulus. Kualitas reproduksi amatiran untuk teknologi pita kaset sangat tidak mendukung suatu pihak melakukan pembajakan dalam jumlah massal. Hal ini amat berbeda dengan reproduksi digital: media penyimpanan (storage) dapat ditekan semurah mungkin dan asal-asalan, sementara kualitas informasi di dalamnya hampir tidak berubah direproduksi berkali-kali. Dengan kata lain, ongkos reproduksi produk digital hampir mendekati nol dibandingkan “kekayaan” materi di dalamnya. Dugaan saya, pada jenis bajakan inilah — yang memang membanjiri lapak-lapak pedagang negeri kita — produk rekaman yang diharamkan MUI.

Tentang haram-tidaknya pembajakan produk intelektual, saya lebih suka hal ini dibicarakan ahli fiqh dengan melibatkan nara sumber pakar di bidang masing-masing. Ingatan saya hanya sampai pada salah satu pembicara yang diundang ke Groningen beberapa bulan lalu, yang pernah mengenyam pendidikan di Syria, yang memaparkan hasil diskusi beliau dengan salah satu gurunya di Timur Tengah bahwa hak kepemilikan intelektual dilindungi di dalam Islam. Dengan demikian hal ini membawa konsekuensi penting di ujungnya dan lebih-lebih jika ditabuh “gong” dari otoritas semacam MUI.

Haram dan halal juga sering menjadi batu ujian buat MUI. Kita ingat kasus susu Dancow dan Ajinomoto, yang melibatkan persinggungan MUI dengan kepentingan produsen dan pemerintah. Dalam pikiran saya, alangkah baiknya jika MUI benar-benar serius jika mau menangani persoalan ini. Libatkan tim independen dan sebaiknya fatwa tersebut menyangkut prospek ke depan dan cakupannya dapat luas.

Bukan apa-apa, fatwa produk rekaman tersebut dikeluarkan bersama dengan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia dan Forum Komunikasi Anti Pembajakan. Selain dapat mengusik rasa keadilan dari pihak konsumen atau masyarakat Indonesia secara luas, apakah hal tersebut tidak menjadi preseden jika suatu saat misalnya, BSA, yang tahun lalu mulai melakukan operasi sweeping perangkat lunak bajakan di Malaysia, menggandeng MUI untuk melancarkan misi mereka di negeri kita? Indonesia sendiri dalam catatan Microsoft disebut sebagai negara pemakai produk perangkat lunak ilegal terbesar kedua setelah Vietnam untuk kawasan Asia Tenggara.

Artikel ini ditulis untuk Serambi deGromiest.

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/9

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on February 19, 2003 10:12 AM.

Nol was the previous entry in this blog.

Memorabilia is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261