Bagaimana membayangkan sekelompok orang tua, kakek-kakek, berkumpul, berkelakar menggunakan bahasa Jawa Ngoko diselingi istilah Belanda, di sebuah tempat seukuran surau di kota kecil di Provinsi Groningen? Benar, saya yang diajak taraweh di sana, malam itu, merasa seperti terjadi ‘kejanggalan’ yang indah! Ini di Belanda rek, tapi suasana di dalam masjid ini persis sama dengan di surau di Jalan Puger, Balung, Jember, tempat saya biasa taraweh di waktu kecil.
Kalau di masjid Groningen taraweh dilakukan 4 kali 2 rakaat
dan masing-masing dibacakan penggalan ayat al Quran dalam
jumlah banyak, di Hoogezand, tempat masjid orang-orang Suriname
ini, yang dibaca kumpulan surat dari Juz Amma. Dan lazimnya
tradisi di NU, rakaat pertama dibacakan satu surat pendek,
rakaat kedua surat Al Ikhlas. Setelah itu ada yang mengajak,
“Shollu sunnatat tarawihi jami’ah ar-rahima kumullah…”
Taraweh ditutup dengan Witir juga dalam formasi 2-1 dengan rakaat terakhir
dibacakan tiga surah penutup dalam Juz Amma. Tambah
mengejutkan, setelah Witir, doa setelah taraweh, berisi,
Subhanal malikil quddus…
Selanjutnya imam berujar, Para
bapa-ibu, mangga dipun aturi niat damel pasa mbenjang…
(Para bapa-ibu, mari dipersilakan niat untuk puasa besok)
Ini di Hoogezand, Provinsi Groningen, daerah utara The Netherlands, di tahun 2001, dan aku tersenyum kepada teman yang pernah tinggal di Yogya, “Ya ampun, persis banget dengan taraweh di kampung!”
Akhirnya kami melingkar lagi dan jajanan dan minuman dikeluarkan. Kopi memang sudah model Nescafe dengan krim, dan tidak ada rokok linting, tapi jajanan masih klasik: getas dan kemplang (semacam ketan digoreng). Dari empat orang Indonesia yang diajak ke Hoogezand, tiga orang mengerti Bahasa Jawa, cuma karena aku yang memang native speaker, salah seorang tua di situ memuji kecil, “Iki sing apik basane” (Ini yang bagus bahasanya) “Wah, duduk apik Pak, tapi luwih medok” (wah, bukan bagus Pak, tapi lebih medok). Hanya saja, setelah tahu namaku sudah tidak mengandung bahasa Jawa lagi, mereka agak sedih, “Jeneng Jawa ora dienggo maneh saiki.” (Nama Jawa tidak dipakai lagi sekarang) Sampai-sampai karena penasaran, aku sempat ditanya nama orang tua. Wah, kebetulan nama bapak tidak mengandung unsur bahasa Jawa juga!
Sempat pula kami dengar ceramah singkat dalam Bahasa Belanda yang dibacakan oleh salah satu jamaah di situ, dan rasanya jadi lebih jelas dan lembut mendengarkan Bahasa Belanda dengan aksen Jawa. Sambil menikmati hidangan itu kami bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Kesulitannya: aku harus berusaha tidak tergelincir menyisipkan Bahasa Indonesia (yang harus aku akui cukup sulit di zaman sekarang ini), dan rasanya memang jadi aneh omong ngoko dengan orang tua. Misalnya, “Kowe nganggo brompit neng Groningen?”, kepada bapak yang sudah berumur di situ. Di samping itu, gaya ungkapan mereka benar-benar ‘zaman kolonial’, misal, “Pak-ku ketemu mak-ku neng Tuban. Kawit tahun pitung puluh, aku teko mrene. Neng Suriname iku politik wae, rakyate nganti kaliren…” (Bapak saya bertemu ibu saya di Tuban. Dari tahun tujuh puluh [1970], saya datang ke sini. Di Suriname [urusan] politik saja, rakyat sampai kelaparan…”)
Salah satu jamaah di situ bercerita bahwa Suriname merdeka tahun 1975. Pada periode-periode itu, sampai awal 1980-an, banyak orang Suriname datang ke Belanda. Urusan imigrasi juga mudah sekali, malah mereka diberi izin tinggal, tunjangan, rumah, dan pekerjaan. Sekarang ini tidak lagi, imigrasi dari Suriname ke Belanda sudah lebih susah. Aku pikir hal tersebut sama dengan Indonesia di tahun-tahun awal pasca-kemerdekaan, banyak WNI mengadu nasib ke Belanda.
Tentang Hoogezand, konon, waktu itu daerah tersebut kosong dan pemerintah Belanda menawarkan kepada salah seorang dari Suriname dan kemudian dia mengajak teman-temannya tinggal di sana. Jadilah, sekitar 1000 keluarga tinggal di sana dan termasuk mendirikan masjid di sebuah gedung sekolah di sana. Mereka masih menggunakan Bahasa Jawa terutama untuk bicara dengan orang yang lebih tua atau suasana keakraban. Wajah-wajah mereka masih membawa khas rona pedesaan di Jawa (bandingkan misalnya dengan pendatang dari Indonesia yang umumnya berasal dari kota-kota besar). Sebagian dari mereka sudah menikmati pensiun dan dengan tunjangan sosial di Belanda mereka cukup menikmati uang tersebut. Malam itu malah ada yang mengemukakan ingin menikmati hari tua di Indonesia tapi ditolak terus oleh imigrasi, dan ditimpali seorang teman dari UI menjelaskan bahwa semenjak pemerintahan Abdurrahman Wahid aturan itu sudah dicabut. Wah, mereka antusias. Bagaimana tidak, umrah ke Mekkah saja sudah dianggap enteng, punya rumah dan kebun di Suriname. “Pak, duit sampeyan Euro ning blanja neng Indonesia Rupiah, enak tenan kuwi…” (Uang bapak Euro dan belanja di Indonesia pakai Rupiah, enak sekali itu…) Mulai Januari 2002 semua mata uang Masyarakat Eropa, kecuali UK, diganti menjadi Euro.
Sebagian besar memang sudah melupakan tempat asal mereka di Jawa karena sudah hilang bukti-bukti silsilah kekerabatan dan tidak tahu lagi siapa yang bisa dihubungi. (Zaman itu belum ada email…) Aku sempat berbisik kepada temanku, “Kita beruntung malam ini sempat menjenguk masjid ini. Pada generasi berikutnya belum tentu mereka punya perasaan dekat seperti malam ini, Bahasa Jawa saja sudah tidak bisa.”
“Tapi tidak usah jauh-jauh,” lanjutku, “Anak-anakku saja sudah tidak mengerti Bahasa Jawa…”