Ini pandangan pribadi saya, jadi tentu saja sangat subjektif: setiap kali selesai membaca cerita pendek dengan latar belakang Islam, saya selalu menghela nafas panjang, apakah memang benar ada yang disebut romantisme itu? Apakah memang nostalgia adalah halusinasi pengarang yang tercekam kepedihan berkepanjangan atau obat sakit setelah “kau buat luka baru di atas luka lama”? (Coba bayangkan betapa sakitnya… — Ebiet G. Ade)
Tokoh-tokoh baik memang ada, dan saya tetap optimis mempercayai akan selalu ada. Oknum-oknum dari sisi gelap juga sesekali muncul, dan harusnya dari sisi peperangan panjang (a war, not just a battle) begundal-begundal ini harus kalah. Akan tetapi pada kenyataan sehari-hari kita, yang memedihkan, membingungkan, dan seringkali menyebabkan putus asa adalah lakon-lakon abu-abu. Mereka meloncat- loncat pada skala sedikit terang atau agak kabur dan seringkali menjadikan pedang lumer atau roti empuk mengeras.
Merobohkan tembok mudah, mengobati luka tergores pisau gampang. Tapi menghalau angin agar dapat digunakan bernafas? Membendung air supaya mengairi sawah?
Kalau bukan karena putus asa dilarang, harus saya katakan, “Romantisme itu nonsens; nostalgia tempatnya di panti jompo…”