Tanpa malu-malu, majalah Playboy edisi Indonesia akan beredar bulan Maret mendatang. Walaupun dijanjikan akan disesuaikan dengan kultur negeri kita, Playboy tetaplah Playboy dengan semua citra, atribut, dan kecenderungan yang melekat selama ini. Tidak mungkin majalah tersebut muncul dengan melepas citra, atribut, dan kecenderungan yang sudah dimilikinya — tidak ada untungnya secara bisnis dan buat apa capek-capek mengubah citra di Indonesia? Jadi saya pesimis dengan janji-janji eufimisme yang didengungkan pihak penerbit Playboy Indonesia (dan juga majalah-majalah serupa yang sudah terbit lebih dulu) karena yang pertama mereka depankan adalah citra yang sudah melekat.
Saya tidak setuju dengan penerbitan Playboy edisi Indonesia. Saya tidak hendak berpusing-pusing dengan sekian alasan seperti kekhawatiran dekadensi moral, seimbang dengan keengganan saya berdebat kusir perihal kebebasan berekspresi, kedewasaan pembaca di negara kita, dan seribu satu argumentasi pemasaran lainnya. Alasan utama ketidaksetujuan saya: media seperti Playboy bertentangan dengan syariat yang saya yakini dan saya anut.