Sementara berita politik internasional mengarah ke strategi
Sun Tzu di Irak, perang komentar terhadap Open Source ikut
meningkat. Di dalam negeri: menjelang Genetika —
yang merupakan mailing list TI
dan telekomunikasi paling ramai — pindah
tempat untuk membuktikan keandalan server
di kandang sendiri, pertanyaan oratoris tentang Linux di
lingkungan desktop muncul kembali. Kapan Linux siap untuk
kebanyakan desktop?
Kalau saya boleh sumbang saran: untuk
audiens di Indonesia, jangan menggunakan argumentasi balik berupa
harga atau berkontribusi di lingkungan pengembangan. Bukan saya
meremehkan kemampuan bangsa kita, namun suasananya belum cocok.
Menyodorkan hitungan harga selalu menabrak kenyataan bahwa perolehan
perangkat lunak komersial dengan jalan haram masih ramai. Hendak
menggunakan ilustrasi semurah apapun Linux, masih kalah “nekat”
dengan CD
10k Rupiah! Malah sampai ada yang setengah menyelidik, Jika
Microsoft Windows dijual dengan harga lebih murah lagi, anda pilih
mana?
Saya ikut menjawab di sini: saya pilih Linux.
Bukan soal banting harga atau jargon romantis “Linux
hebat”, melainkan karena di situ tempat kerja saya. Cukup.
Pengertian fanatik karena saya adalah fans, saya
terima. Tidak lebih, tidak kurang.
Menyarankan “buat saja sendiri” untuk substitusi aplikasi atau modul di Linux juga tampaknya bukan ajakan yang memikat. Selain membuat perangkat lunak itu perlu bekal yang banyak, pemakai komputer di negeri kita terbagi dua: yang pertama berada di kantor dan dikejar tenggat waktu oleh bos besar, yang kedua menganggap komputer itu mal besar berisi sekian rupa hiburan dan kesenangan — jadi untuk apa repot-repot?
Lho, kan ada mahasiswa?
Saya kutip dari salah satu email di Genetika: Ya mahasiswa
sekarang pintar bisnis juga pak.
Di negeri yang selalu ribut dengan perang pernyataan, Amerika Serikat, kondisi beberapa hari ini justru terbalik: Microsoft memulai retorika tentang keamanan sistem operasi (inikah yang disebut “inisiatif korporasi”?) dan pada hari yang berdekatan, di OSDL sedang panas tentang Linux desktop. Bercampur aduk dengan perasaan banyak orang tentang keputusan Red Hat mengakhiri (boleh juga disebut “memindahkan”) layanan Linux gratis dan pernyataan salah satu petingginya bahwa sambil menunggu Linux di desktop mapan, pakai saja Microsoft Windows.
Saling mendekat dan merangkul, saling menyindir, atau mulai babak baru perseteruan? Sekali lagi saya cuma pemakai akhir yang punya kemampuan biasa saja; jadi tetap saya pilih sistem operasi yang sedang dipakai sekarang dan sangat membantu. Jangan kuatir, tulisan ini tidak akan dilanjutkan dengan kelebihan Linux dibanding Microsoft Windows.
Demikianlah, pemakai akhir dengan keperluan dan preferensinya yang menentukan…
Tambahan [20/11] Detik memuat berita tentang jumlah pemakai Linux di Indonesia versi Linux Counter, tercatat hanya 661 orang.
wew tulisan mas amal main lama makin jadi … saya masih jauh tertinggal
ms office vs open office, memang masih lebih “bagus” ms office walaupun sama sama mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. tetapi dari kondisi sehari hari, untuk menggunakan ms office saja masih bingung, apalagi kalau harus belajar dari awal menggunakan open office :) memang repot beralih ke open source
Masak sih untuk menggunakan Open Office harus lewat Microsoft Office dulu karena lebih mudah? ;-)
Langsung saja, tancap pakai Open Office. Kalau masih susah juga, pakai vim.
komentar saya bahwa saya suka, memang artis joshua contoh sherina