Sampai dengan bulan September lalu, sudah tiga perguruan tinggi negeri dan ternama yang secara resmi melakukan Campus Agreement dengan Microsoft. Diawali oleh ITB, kemudian ITS, dan terakhir UGM yang meneken kerja sama pemakaian lisensi khusus untuk kampus dengan Microsoft Indonesia. Sebagai konsekuensi dari mulai diterapkannya UU HaKI tanggal 29 Juli 2003, dan dimulainya otonomi perguruan tinggi, tentu saja persetujuan semacam ini menjadi sorotan terutama oleh mereka yang memiliki kaitan langsung dengan kebijakan tersebut. Sekalipun kerja sama tersebut bukan monopoli terhadap satu vendor tertentu, dikaitkan dengan adanya alternatif produk Open Source yang dapat digunakan tanpa ongkos lisensi, tentulah pro dan kontra terhadap langkah tersebut terangkat ke permukaan.
Secara terpisah, ketiga lembaga pendidikan tersebut mengemukakan alasan masing-masing. PSDI ITB menyebut bahwa,
Produk perangkat lunak (software) tidak dapat lagi dipisahkan dari kehidupan akademis di ITB. Civitas Academica ITB membutuhkan software populer seperti Windows XP, Microsoft Office, Microsoft Visio, Visual Studio, dan Microsoft Project.
Namun produk-produk tersebut berharga mahal, sehingga banyak civitas academica ITB terpaksa membajak software tersebut. Selain ilegal, kebiasaan membajak merugikan kemajuan industri software Indonesia serta masa depan profesi lulusan ITB di bidang ini.
Sedangkan rektor ITS, Dr. Muhammad Nuh, menyebutkan dukungannya terhadap hasil keilmuan dan pihaknya akan memberikan alternatif dalam pemakaian program komputer, baik yang menggunakan copyright atau copyleft. Dalam seminar yang diselenggarakan di ITS itu juga terungkap perhitungan kasar oleh L. Chandra Mohan, Direktur Microsoft Indonesia, bahwa nilai nominal yang dibayar oleh perguruan tinggi sebesar ITS sekitar USD 1000/tahun. Penghargaan terhadap hak cipta itu pula yang dikemukakan Prof. DR. Sofyan Effendi, rektor UGM, terhadap kerja sama kampus dengan Microsoft ditambah dengan upaya UGM mencapai visi sebagai “universitas riset.”
Dengan perkataan lain, perguruan tinggi yang sudah mulai menapakkan kakinya lewat kerja sama di atas (dan tentunya ditambah beberapa perguruan tinggi lain yang tidak disebutkan di sini), beranjak dari sesuatu yang menjadi landasan positif: penghargaan terhadap HaKI. Ketiganya mengakui, dan demikian umumnya mayoritas pengguna komputer di Indonesia, bahwa selama ini sebagian besar produk yang digunakan berasal dari sumber ilegal. Mau atau tidak, untuk menjadi bagian dari masyarakat, menghargai HaKI sebagai upaya kita menghargai jerih-payah orang lain harus dilakukan.
Dilihat dari pemakai komputer di perguruan tinggi, terdapat tiga kelompok besar, yakni: staf pengajar (dosen) dan grup/bidang keahlian yang ditangani, staf administrasi, dan mahasiswa. Sekalipun banyak perguruan tinggi ingin melakukan integrasi komputerisasi yang dapat menghubungkan fungsi ketiganya, namun sampai saat sekarang yang sudah terealisasi baru berupa irisan kepentingan. Misalnya staf pengajar yang mengelola bidang keahlian tertentu memiliki kepentingan dengan laboratorium mahasiswa pada bidang tersebut, sehingga sumber daya yang tersedia di tempat tersebut dapat digunakan bersama. Dari ketiga kelompok tersebut, staf pengajar dan mahasiswa merupakan sumber daya utama yang menjadi motor aktif kegiatan di perguruan tinggi, termasuk aktivitas TI. Dengan demikian, apabila dikehendaki perubahan pada kebijakan TI, maka kedua kelompok pemakai ini lebih dapat diharapkan untuk berpartisipasi aktif.
Berkaitan dengan pembiayaan, selain angka lisensi per tahun yang disebut Chandra Mohan di atas (dalam acara seminar di ITS di atas, pembicara lain, Emawati Junus, SH, Direktur Hak Cipta, menyebut angka tersebut masih relatif mahal), reportase Ni Ketut Susrini dari Detik, memaparkan angka yang lebih mahal lagi. ITB dikabarkan menyiapkan dana USD 60.000 untuk melisensi perangkat lunak yang digunakan, dengan pertimbangan tentunya tidak diperlukan pelatihan tambahan yang berkaitan dengan migrasi sistem karena perangkat lunak tersebut sudah berjalan selama ini. Sebagai ilustrasi, jika dilihat pernyataan Rektor UGM tentang dana operasional perguruan tinggi yang mereka perlukan, yakni sebesar Rp 900 milyar/tahun, maka persiapan untuk lisensi tersebut tidak terlalu besar. (Perbandingan yang lebih adil harusnya terhadap alokasi dana untuk TI selama setahun, namun sayang tidak saya dapatkan datanya.)
Bagaimana halnya dengan perangkat lunak Open Source yang akhir-akhir ini bertambah marak diterima sebagai alternatif di beberapa negara lain? Setelah Malaysia melakukan inisiatif menggunakan produk Open Source dan sinyalemen akan kekuatan Jepang, Cina, dan Korea Selatan untuk menyusun sistem operasi baru, Open Source merupakan kemungkinan alternatif tersendiri. Jika dilihat dari contoh negara-negara yang mulai mengadopsi Open Source, tampaklah bahwa pengadaan perangkat lunak bukan semata-mata persoalan dana. Keleluasaan dalam memilih alternatif dan interoperabilitas antarkomponen merupakan hal penting yang seringkali tidak bisa dinilai begitu saja dengan uang. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan peran perguruan tinggi yang mengarahkan sumber daya manusia di dalamnya, maka faktor sikap manusia yang mengoperasikan perangkat lunak itu merupakan nilai mahal yang perlu dipertimbangkan.
Bambang Nurcahyo Prastowo, Kepala Seksi Jaringan Komunikasi Data
UPT
Pusat Komputer UGM,
menyebut hitungan untuk migrasi ke Open Source
sebesar kurang lebih Rp 300 juta untuk 3000 pengguna di tempat
seperti perguruan
tinggi.
Dari dana sebesar itu, 2/3 dihabiskan untuk
pelatihan karena memang bagian ini yang paling kritis dari migrasi
sistem, apapun merknya. Selain pelatihan pengetahuan dan ketrampilan
menggunakan alat baru, diperlukan juga trik persuasif menghadapi
“kelembaman” pemakai untuk berganti sistem. Bahkan yang lebih
mengejutkan, seperti kasus pemilihan perangkat lunak untuk Munich
pada bulan Juli lalu, ongkos migrasi ke Linux yang lebih mahal, USD
35,7 juta, dibanding tawaran diskon Microsoft, USD 23,7 juta
(setelah dikorting dari USD 31,9 juta), dewan kota akhirnya memilih
solusi Open
Source.
Salah satu alasan yang dikemukakan Christine Strobl, anggota dewan
kota yang memilih migrasi ke Linux, Filosofi
Microsoft adalah mengubah perangkat lunak kami setiap lima tahun.
Dengan Open Source, kami dimungkinkan untuk menyusun kebijakan
sendiri waktu penggantian perangkat lunak kami.
Membicarakan urusan perguruan tinggi semata-mata dilihat nilai profitnya tentu saja kurang bijak. Apalagi jika diingat fungsi perguruan tinggi di Indonesia yang mengemban fungsi perbaikan sosial yang kuat. Open Source adalah sebuah gerakan yang fokus utamanya tidak sekadar memakai barang gratis (alangkah tidak adil jika hanya diartikan seperti itu), melainkan kolaborasi dalam skala besar antara semua orang yang terlibat dengan perangkat lunak tersebut. Dari perancang, pembuat spesifikasi, pemrogram, sampai dengan pemakai akhir. Keindahan Open Source adalah semua orang punya kans untuk berkontribusi. Bagi organisasi yang bertumpu pada efisiensi terhadap keuntungan profit, tentu saja kontribusi dalam bentuk finansial lebih mudah baginya — dan itu terlihat seperti pada kasus di Munich yang disebut di atas, misalnya. Sedangkan bagi perguruan tinggi yang menjadi motor perubahan dari sisi intelektual bagi masyarakat, tentunya nilai tambah dari perangkat lunak Open Source terletak pada sikap dan motivasi terhadapnya. Bahkan seandainya pun organisasi tersebut sekadar menggunakan dan melakukan pengorganisasian dengan baik sehingga dapat menjadi rujukan bagi pemakai lain, itu sudah bernilai banyak bagi komunitas Open Source.
Pertimbangan penting lain adalah motivasi utama di belakang produk-produk Open Source. Selain umumnya berbasis UNIX, yang memang pada awalnya tumbuh di lingkungan akademis, produk Open Source dibuat berdasarkan kompromi konsep yang disodorkan akademisi dan brainstorming usulan kondisi praktisnya. Sebagai misal, di forum semacam Kernel Traffic ramai dibahas teknik-teknik yang akan dipilih digunakan untuk implementasi pembuatan kernel dan modul-modulnya. Tulisan lain di Oracle Magazine edisi September 2003 menyebutkan bahwa pengembang Linux fanatik untuk bersikukuh mengikuti standar industri dan publik.
Dengan sekian argumentasi penting di atas, perguruan tinggi di Indonesia perlu lebih memikirkan kebijakan TI-nya agar lebih mengutamakan Open Source daripada vendor komersial. Seandainya alasan yang digunakan sekarang terhadap Campus Agreement terhadap vendor komersial adalah “sudah terlanjur banyak perangkat lunak di dalam kampus yang berjalan di atas vendor tersebut”, maka jumlah yang banyak ini jangan ditambah lagi, melainkan harus mulai dikurangi. Dengan gambaran ketiga jenis pemakai di dalam kampus yang disebutkan di atas, kalau kita mau kompromi dan bertahap pada proses perubahan ini, gerakan pemakaian perangkat lunak Open Source dapat dimulai dari kelompok akademis, yakni staf pengajar dan peneliti di kampus, dan mahasiswa. Selain mereka relatif lebih melek komputer, sudah saatnya pula sikap kelompok akademis ini lebih terbuka terhadap alternatif yang sebenarnya lebih “terhormat” untuk lingkungan pendidikan.
Laboratorium komputer yang dipasangi sebuah perangkat lunak akan mengajak pengelolanya memahami konsep yang dibawa perangkat lunak. Dengan karakteristik konsep dan implementasi perangkat lunak Open Source yang telah dijelaskan pada beberapa paragraf sebelum ini, maka kesempatan untuk belajar lebih memungkinkan. Contoh lainnya adalah pemilihan editor untuk menuliskan laporan dan karya tulis di perguruan tinggi. Sangat sedikit sekali — hampir-hampir tidak ada — perguruan tinggi di negeri kita yang menetapkan Latex sebagai format standar, dan sebagai gantinya memilih format proprietary dari sebuah editor komersial. Padahal mayoritas perguruan tinggi di negara-negara maju mengharuskan laporan ditulis menggunakan format Latex dan alat bantu pengolahan teks yang berkaitan dengan Latex ini mempunyai fondasi yang kuat di lingkungan Open Source. Tidak perlu saya jelaskan lebih rinci keuntungan format Latex di sini, namun dengan memilih format penyimpanan dokumen yang proprietary, selain kita tidak efisien dengan memilih editor yang berharga lebih mahal, hasilnya tidak lebih bagus. Dan hal itu menjadi lebih buruk lagi karena pada saat kita hendak mempublikasikan dokumen tersebut dalam format digital, format data yang kita pilih menyulitkan orang lain untuk mengaksesnya karena bersifat proprietary.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pihak manapun, kita semua tidak ingin perguruan tinggi menjawab usulan pemilihan perangkat lunak Open Source ini seperti yang telah sering terdengar dan disebut sebagai FUD, yakni, “Siapa yang bertanggung jawab jika perangkat lunak tersebut tidak cocok dengan perangkat keras kami? Bagaimana dengan dukungan teknis? Apakah nantinya tidak merepotkan pemakai karena kurang user-friendly?” Pertanyaan sejenis itu terakhir muncul pada polemik antara I Made Wiryana dengan Tim TI KPU. Dengan sumber daya yang dimiliki dan karakteristik TI yang digunakan oleh perguruan tinggi, justru pertanyaan tersebut dibalik menjadi tantangan: apakah tidak mungkin menjadikan perguruan tinggi sebagai salah satu sumber yang dapat diandalkan untuk menyebarluaskan Open Source? Saya kira sudah lama kita mendengar jargon agen perubahan (agent of change) yang melekat pada perguruan tinggi: jadi tentunya menjadikan kesempatan alternatif ini sebagai pilihan juga sejalan dengan label agen perubahan itu sendiri.
Dengan bertambahnya jumlah sivitas akademika yang mulai peduli dengan perangkat lunak Open Source, pihak pengelola kampus dapat mulai mengorganisir sumber daya ini guna mengatasi persoalan yang dapat muncul di dalam kampus (reaktif) atau menyusun rencana jangka berikutnya (proaktif). Apabila dilakukan koordinasi dengan baik, tidak mustahil dukungan teknis di dalam kampus ini punya kualitas yang mampu bersaing dengan vendor komersial dan dapat dijadikan layanan yang dijual untuk produk Open Source di Indonesia. Dengan perkataan lain, bukan hanya kampus tidak merengek lagi perihal Open Source, melainkan malah dapat dijadikan peluang untuk menghidupkan aktivitas TI di kampus.
Impian besar seperti itu tentu perlu dimulai dari langkah yang praktis dan realistis. Untuk menunjukkan dukungan terhadap Open Source, pihak pengelola perguruan tinggi sekurangnya dapat memulai dengan membuka alternatif ini terhadap pengertian Campus Agreement. Selain vendor perangkat lunak komersial yang dirangkul, apabila mau adil, dana sebesar USD 60.000 seperti yang telah disiapkan ITB misalnya, juga sepatutnya dialokasikan untuk pengembangan atau pemakaian perangkat lunak Open Source. Apalagi jika disebut, “Lebih mendukung Open Source.”
nice writing…
Laporan dari ITB:
sayangnya, dari yang saya dengar yang mau memanfaatkan kesempatan mendapatkan lisensi perangkat lunak legal secara murah ini masih sangat sedikit.
Dan yang mau make solusi opensource juga kayaknya lebih sedikit lagi :(. Tapi kita tunggu aja bagaimana kerjanya working group open source yang akan dibuat oleh smartcampus initiative ITB.
Ada fakta yang sangat menarik: motor dari perjanjian Microsoft - ITB itu adalah Armein Langi dan Budi Rahardjo. Keduanya sangat fasih memakai berbagai produk Open Source (OpenOffice, Debian, …). Tapi mereka tidak fanatik (?).
Motivasi untuk melegalkan pemakaian perangkat lunak di lingkungan perguruan tinggi yang memang sekarang lebih penting. Kompromi terhadap kondisi aktual di lapangan harus diatasi antara lain dengan jalan kerja sama seperti Campus Agreement tersebut. Jika kemudian pihak pengelola kampus lebih mendukung Open Source dan mulai dikucurkan fasilitas dan dana yang berimbang ke sana, Armien Langi dan Budi Rahardjo akan lebih mudah lagi mempromosikan Debian dkk.
Namun seperti ditulis oleh Joe di atas, kenapa dengan jalan lebih murah itu pun masih kurang antusias disambut?
Sesuei dengan pengutaraan pak Amal yg intinya penggunaan perangkat lunak berbasis Open Source lebih murah dibanding produk MS dan kenapa kesempatan ini tidak diimplementasikan di kampus. Saya jadi ada pertanyaan yg mungkin terlalu “hijau”, dengan Open Source setidaknya semua hal teknis dan kebutuhan kita sudah terpenuhi, tapi pihak ITB masih mengadakan penjanjian dengan Microsoft, mungkin dibenak saya terlintas beberapa point:
Apakah di kampus diwajibkan secara implisit menggunakan produk MS?
Apakah ada kepentingan lain dengan MS selain dari penggunaan software?
Dilihat dari kampus itu sendiri adakah keuntungan dari pihak MS selain masalah seputar software?
Padahal dulu belajar Open Source pertama di PIKSI, walau dapet nilei D :-)
Sedikit yang saya tahu,
Tentu saja rencana persis strategi tersebut pihak universitaslah yang tahu.