Mei

| No TrackBacks

Bulan Mei tahun 2003 ini tampaknya dapat menjadi bulan yang penuh dengan hal-hal yang patut direnungkan. Di awal bulan ini, seperti lazimnya telah berlangsung berkali-kali, adalah Hari Pendidikan Nasional. Sekalipun pada awalnya dikaitkan dengan Ki Hajar Dewantoro yang dianggap sebagai Bapak Pendidikan negeri kita, antara lain terkait dengan gagasan beliau perihal tiga peran dalam pendidikan, ing ngarso, ing madya, dan tut wuri, namun jelas persoalan pendidikan di negeri kita masih perlu perjuangan berat dari urusan gaji guru SD sampai RUU.

Alih-alih memperbesar perbedaan pendapat yang tambah meruncing pada banyak sisi, ajakan Nurcholis Madjid yang dimuat oleh Pikiran Rakyat dari sebuah acara di Bandung beberapa bulan lalu, lebih patut menjadi bahan renungan. Ajakan tersebut mengingatkan bahwa jika bangsa Indonesia ingin maju, perlulah sekarang ini berpuasa dulu sehingga perhatian pada pendidikan — terutama pendanaannya — dapat lebih diprioritaskan. Saya ingat tulisan Deliar Noer tentang Moh. Hatta yang mendapat julukan “mempunyai isteri kedua, yakni buku” sedapat mungkin menghindari pesta dan “acara anak muda” lainnya selama bersekolah di Belanda agar duitnya dapat ditabung untuk dibelikan buku.

Pendidikan di Indonesia memerlukan lebih banyak lagi model keikhlasan dan kemandirian bergaya pondok pesantren tradisional namun dilengkapi pengetahuan kerekayasaan tingkat menengah. Saya tidak ingin menyebut hal-hal yang bombastis dengan harapan yang dicuatkan, namun setidaknya mampu memberi nilai tambah terhadap pengolahan lumbung di dalam negeri. Jika keterbatasan fasilitas sekolah formal di negeri kita menyempitkan kepada mereka yang pintar (hasil dari kompetisi yang sangat ketat) dan yang kaya (konsekuensi dari harga fasilitas yang mahal), maka perlu dipikirkan cara menampung luberannya. Ruang kesempatan harus diperluas tidak cukup hanya untuk yang mampu, melainkan juga yang mau.

+ + +

Akhir bulan Mei ini juga, terasa atau tidak, reformasi sudah lewat lima tahun. Lepas dari penilaian berhasil atau gagal, resiko bergolak telah diambil dan ongkos panjar telah dibayar. Masih berkait dengan pendidikan, pada bulan Mei tahun 1998 itu, saya sempat ikut sholat Jumat di IAIN Sunan Gunung Djati, di Cibiru, Bandung. Angkutan umum yang saat itu “terganggu” oleh konvoi mondar-mandir mahasiswa dari kompleks pendidikan Jatinangor dan Gasibu Bandung, menyebabkan saya tertahan di Cibiru dan akhirnya Jumatan di kompleks IAIN.

Suasana di dalam masjid mirip sekali dengan Jumatan pada saat Baghdad diamuk oleh apa yang disebut “penjarah” bulan lalu (saya beri tanda kutip karena masih ingin menghormati bangsa Irak dan saya sendiri bukan pada posisi yang tahu persis apa yang terjadi di Baghdad). Jamaah Jumatan hanya beberapa baris, tidak sampai memenuhi masjid, dan kontras dengan lalu-lalang konvoi di jalanan. Khotib Jumat, salah seorang dosen setempat, menyinggung dengan eksplisit: kenapa yang diperjuangkan hanya reformasi politik, reformasi ekonomi, reformasi hukum, dll. Bagaimana dengan reformasi moral atau akhlak?

Benarlah menurut Soetjipto Wirosardjono, kolumnis yang pernah menjabat wakil ketua BPS dan salah satu tokoh di balik ICMI, yang sekali waktu menyebutkan jika dilantunkan ayat suci Al Quran rasanya batin bisa menerima, tenang; sedangkan bila mendengar khotbah, pikiran cenderung “bangun” dan ingin diajak mendebat pendapat tersebut. Saya kira apa salahnya dengan perbaikan (jika demikian yang menjadi makna dari reformasi) politik, ekonomi, dll. Bukankah di dalam masing-masing itu termuat juga moral atau etik pelaksananya? Demikian juga, jika kita berniat memperbaiki moral, bukankah pada penerapannya juga menyentuh akhlak berekonomi, berpolitik, dan lainnya?

Tentu saja saya maklum karena “keluhan” itu disampaikan di tempat yang selama ini dianggap mewakili otoritas yang membawa nama agama. Dengan pengertian di sisi lain, sepantasnya saya bersyukur bahwa pada wilayah yang mereka kuasai, di situlah renungan tersebut menjadi prioritas. Usul saya yang kampungan paling sederhana saja: arah vektor yang baik terhadap pertanyaan retorik seperti itu adalah ke arah diri sendiri. Seperti yang tetap saya pegang bahwa humor yang sehat adalah menertawakan diri sendiri.

Entahlah apakah para pelaku reformasi Mei 1998 — yang disebut oleh Kompas sebagai gerakan massa pertama di dunia yang memanfaatkan teknologi digital — cukup tabah meniti hari-hari panjang dan sulit setelahnya. Dunia yang kita huni semakin sedikit menyisakan kepedulian ideologis dan menggantinya dengan konsumerisme global. Setidaknya di tahun 1970-an masih ada film setengah dokumenter tentang keributan di negeri kita, The Year of Living Dangerously, yang dilarang diputar oleh Orde Baru.

Di tahun-tahun reformasi itu perang ideologi global sudah mereda, dan para pedagang sudah terlalu hiruk-pikuk dengan ongkos tambal Y2K. Setelah beberapa bulan kemudian mulai terdengar pendapat, “berita politik mulai membosankan (lagi),” kiranya lebih nyaman menikmati salah satu syair dari Petualangan Sherina:

Setiap manusia… di dunia…
pasti punya kesalahan…

Selamat melewati lima tahun buat reformasi, repot-nasi, atau apalah engkau disebut!

No TrackBacks

TrackBack URL: http://mt4.atijembar.net/mt-tb.cgi/15

Google Friend Connect

About this Entry

This page contains a single entry by Ikhlasul Amal published on May 6, 2003 11:08 AM.

Kalkulator /2 was the previous entry in this blog.

Al Awwalu is the next entry in this blog.

Find recent content on the main index or look in the archives to find all content.

Pages

  • About
  • Contact
OpenID accepted here Learn more about OpenID
Powered by Movable Type 4.261