Seperti umumnya anak Indonesia lain, pengertian pertama tentang dasar bilangan saya peroleh di bangku Sekolah Dasar kelas dua atau tiga, yakni pada saat belajar membaca jam. Tentunya menjadi pertanyaan besar bagi semua anak, “Kenapa setelah angka 12, kembali 1 lagi?” (Atau kalau kita gunakan notasi-24 seperti yang digunakan di Indonesia, setelah menulis angka 23 kembali ke 0 lagi)
Selain “memang semua jam ditulis seperti itu” — demikian yang selalu saya terima saat itu — tentu pada masa anak-anak belum terbayang bahwa angka 12 pada jam merupakan dasar bilangan karena tetap ditulis menggunakan simbol desimal. (Seharusnya semacam 1, 2, 3, …, 9, A, B, C, ya?)
Sampai suatu hari di kelas empat SD, kami diperkenalkan dengan dasar bilangan. Misalnya dasar lima, dengan gambar potongan lidi sejumlah enam, maka diminta dituliskan sebagai 11 (dasar lima). Tentu saja hal ini menimbulkan “kebingungan” bagi kami yang sudah diajari menulis angka sampai 10.
Pak Asbari, guru kelas empat kami, menyebut angka sebelas itu sebagai satu-satu dan demikian juga dua belas sebagai satu-dua. Atau dengan kata lain, dieja sebagai kumpulan dua angka (atau dua karakter dalam pengertian konsep di komputer), bukan sebuah kesatuan sebelas, dua belas, dst.
Ini menimbulkan sedikit kerancuan dengan penjelasan Bapak di rumah yang menyebut angka-angka itu apa adanya seperti halnya kita sebut untuk bilangan dasar 10. Jawaban saya, “sebelas, dua belas, dst.” jadi terasa “aneh” di kelas. Hal ini dapat dimaklumi sebagai ketidaknyamanan di kelas, terutama SD, di Indonesia.
Sampai besok pagi sekali, saya menjumpai Pak Asbari berdiskusi dengan salah seorang guru senior yang memang terkenal sebagai ahli Matematika di sekolah kami, Pak Djoko. Tampaknya mereka membicarakan perihal dasar bilangan tersebut. Benarlah, pada pelajaran Matematika hari itu, Pak Asbari menjelaskan lagi bahwa pembacaan angka-angka itu sebagai, “sebelas, dua belas, dst…”, setelah kami di kelas sempat menjawab angka-angka itu sebagai yang dikemukakan kemarin.
Baik Pak Asbari, Pak Djoko, dan Bapak, ketiga “guru Matematika” itu telah berpulang ke Rahmatullah. Namun dari ketiganya saya memperoleh pendapat yang menarik tentang dasar bilangan. Sekalipun hal itu tampaknya sekadar cara penyebutan secara lisan — yang memang potensial untuk berbeda secara khilafiyah — saya mendapatkan gambaran dasar bahwa dasar bilangan itu perlu diterapkan secara “demokratis” terhadap kumpulan angka berapapun. Artinya, kalau 1110 (angka sebelas dengan dasar 10) disebut sebagai sebelas, harusnya pantas juga 115 (angka sebelas dengan dasar 5) memperoleh “panggilan” yang sama.
Sekalipun kisah dasar bilangan yang melibatkan ketiga orang di atas sudah usai dan membawa kesan mendalam, saya masih tetap menyimpan ketidakkonsistenan diam-diam: sekarang ini, setelah saya bekerja dengan bilangan biner, semakin jarang saya sebut 100012, sebagai sepuluh ribu satu, melainkan satu-nol-nol-nol-satu.