Perlu “nasionalisme”, kesungguhan, dan modal untuk memiliki Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional dan diterbitkan Balai Pustaka. “Nasionalisme”
yang saya maksud sederhana saja: jangan heran jika beroleh
pertanyaan, Orang Indonesia kok beli kamus bahasa Indonesia?
Jika si pembeli kebetulan hendak pergi ke manca negara dalam rentang
waktu lama, ditambahi lagi, Khawatir lupa bahasa Indonesia di
sana?
Ya, nasionalisme kita harus cukup logis untuk meyakinkan kita sendiri bahwa
penutur bahasa ibu pun perlu rujukan yang memadai, yang dapat
dijadikan pegangan. Jika ia sekadar sentimen kebangsaan tempat
kelahiran — dan memang nasionalisme masuk kelompok faham romantik
— ujungnya menghasilkan dalih “kemalasan” semacam, Bahasa adalah
alat komunikasi. Jika kedua belah pihak mengerti maksud pembicaraan,
mengapa harus dibuat sulit?
Apatah tetap layak pertanyaan tadi
dikemukakan untuk keduaratus juta pihak — yakni jumlah penduduk
negeri ini?
Negara Belanda yang seluas provinsi Lampung dan berpenduduk sebanyak Jabotabek saja punya berjenis-jenis kamus bahasa Belanda untuk penuturnya sendiri.
Sedangkan kesungguhan itu tercermin dari cara memperoleh KBBI: untuk mendapatkannya, KBBI biasanya tersedia di toko buku papan atas, perpustakaan pemerintah yang berjumlah sangat sedikit, atau jika datang ke pasar alternatif seperti di Palasari, dapat terkecoh oleh versi bajakan. Hendak idealis menunggu versi resmi datang pun kadang perlu waktu tunggu hingga satu bulan. Godaan itu demikian kuat: dengan harga melorot hingga separuh, versi bajakan langsung dapat dibeli tanpa perlu menunggu pesanan toko buku datang. Jangan terlalu berharap KBBI diedarkan di lapak-lapak emperan atau penjaja asongan di perempatan seperti halnya versi bajakan Kamus Inggris-Indonesia (dan sebaliknya) buah karya Echols-Shadily. Pembajak kamus pun pikir-pikir untuk mencetak KBBI dalam jumlah besar.