Optimisme memang tidak tumbuh secepat sebuah kampanye partai politik dilangsungkan, tidak juga selekas sebuah tabligh akbar usai. Kita maklum, yang dibicarakan selama dua perhelatan megah tadi adalah persoalan-persoalan yang berjarak dari situasi (bahkan lokasi) dan sesuatu yang “ingin dihindari dengan memalingkan muka darinya”. Keduanya penting menurut penggagasnya karena — salah satunya — untuk menumbuhkan optimisme, namun sering berbeda diterima hadirin, menjadi “sesuatu yang dikutuk secara massal” atau “sesuatu yang dilupakan sangat sejenak.”
Dan retorika itu, Tuan-tuan. Ingatan kita tentang cara bertanya secara retoris di alun-alun atau lapangan terbawa ke mana-mana. Para penulis menjadi kehilangan gairah untuk mengajak pembacanya berkontemplasi, merenungi keniscayaan hidup, keberkahan waktu dan ruang, kenikmatan hari ini, karena tulisan di media ranah publik terbawa gaya acara di alun-alun di atas.