Beberapa hari lalu saya berkesempatan lagi menonton The Killing Fields, film lama buatan Inggris yang menggambarkan kekejaman Pol Pot dan tentaranya di Kamboja. Sekalipun pada saat menonton yang kedua ini saya terlambat dan film sudah masuk adegan Phnom Penh dalam kondisi genting dan disusul dengan perpisahan Dith Pran dan kawan-kawan jurnalis Barat di kedutaan besar Amerika Serikat, kali ini saya lebih menangkap makna getir The Killing Fields. Saya tercenung beberapa saat bahkan setelah film berputar balik pada kondisi “yang lebih baik” — Sidney Schanberg mendapat penghargaan untuk jurnalisme di Kamboja dan Dith Pran terlindung oleh salah satu faksi Pol Pot yang masih memiliki kerinduan terhadap negeri mereka yang indah.
Pembantaian massal tanpa belas kasihan dalam film tersebut benar-benar menyisakan pertanyaan, “Mengapa ada manusia dapat menjadi sedemikian bengis seperti itu?” Saya sendiri tidak berpretensi menilai peristiwa di Kamboja sebagai suatu kasus yang berdiri sendiri, sehingga terbayang oleh saya catatan-catatan sejarah di tempat lain yang juga mengenangkan getir semacam itu. Kebetulan juga pada bulan Agustus lalu sempat saya tonton sebagian dari The Year of Living Dangerously — sebuah film tentang kekacauan politik pada peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan tidak diizinkan diputar di Indonesia. Sebagian gambar yang terlihat pada film tersebut juga dengan kelam menggambarkan orang-orang dikumpulkan di tanah lapang dan peluru diberondongkan dari senapan mesin…
Namun apakah kekejaman itu sendiri? Apakah ia memang keniscayaan pada suatu kondisi, “harus memangsa atau dimangsa?” Demikian juga terhadap perilaku politik bahwa hal itu adalah sebagai salah satu atau hasil sebuah kebijakan — yang sedihnya harus diakui sebagai, “tidak bijak.” Menghabiskan sebuah bangsa, melenyapkan segenap pengikut sebuah pemikiran, atau memberangus sebuah umat.
Bagian penting lain yang senantiasa masih menyelinap dalam kabut suram sekalipun adalah sinar kehangatan kemanusiaan itu sendiri. Dalam hiruk-pikuk kegilaan, kekacauan yang tidak jelas ujung-pangkal awal-akhirnya, selalu masih bersinar sepenggal harapan lewat percakapan manusia. Harapan yang sedikit ini menjadi penting seperti halnya secercah cahaya dalam pekat yang dapat dijadikan bantuan agar mereka yang menyadarinya dapat menemukan jalan yang lurus.
Saya merasakan getir yang lebih mendalam karena pikiran saya melintas-lintas antara perubahan demi perubahan yang tidak terbayangkan. Seperti seolah saya memahami kepedihan tersebut sebagai kekecewaan yang mendalam, ketakutan sebagai ketiadaan pilihan. “Sampai sejauh mana manusia dapat bertahan?”, demikian pertanyaan pada salah satu terjemahan cerita pendek bagus yang diterbitkan Yayasan Obor dari koleksi cerita RRC pada masa Mao Tse-Tung [PDF].
Terkadang hidup memang getir, sekalipun kita tetap harus menyisakan ruang untuk harapan.