Bagaimana membayangkan sekelompok orang tua, kakek-kakek, berkumpul, berkelakar menggunakan bahasa Jawa Ngoko diselingi istilah Belanda, di sebuah tempat seukuran surau di kota kecil di provinsi Groningen? Benar, saya yang diajak taraweh di sana, malam itu, merasa seperti terjadi ‘kejanggalan’ yang indah! Ini di Belanda rek, tapi suasana di dalam masjid ini persis sama dengan di surau di Jalan Puger, Balung, Jember, tempat saya biasa taraweh di waktu kecil.
Kalau di masjid Groningen taraweh dilakukan 4 kali 2 rakaat
dan masing-masing dibacakan penggalan ayat al Quran dalam
jumlah banyak, di Hoogezand, tempat masjid orang-orang Suriname
ini, yang dibaca kumpulan surat dari Juz Amma. Dan lazimnya
tradisi di NU, rakaat pertama dibacakan satu surat pendek,
rakaat kedua surat Al Ikhlas. Setelah itu ada yang mengajak,
“Shollu sunnatat tarawihi jami’ah ar-rahima kumullah…”
Taraweh ditutup dengan Witir juga dalam formasi 2-1 dengan rakaat terakhir
dibacakan tiga surah penutup dalam Juz Amma. Tambah
mengejutkan, setelah Witir, doa setelah taraweh, berisi,
Subhanal malikil quddus…
Selanjutnya imam berujar, Para
bapa-ibu, mangga dipun aturi niat damel pasa mbenjang…
(Para bapa-ibu, mari dipersilakan niat untuk puasa besok)